Bisnis.com, JAKARTA - Jepang identik dengan korporasi besar, tapi usaha kecil dan menengah juga tumbuh dengan baik karena efektifnya dukungan dari pemerintah. Mungkinkah sistem support terhadap UKM ini ditiru Indonesia?
Seiring berakhirnya pandemi Covid-19, pemerintah membuat berbagai program pemulihan ekonomi, tak terkecuali bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Tapi, kenyataannya hingga kini masih banyak pelaku UMKM yang belum sanggup kembali memulai usahanya. Menurut Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), pada 2021 tercatat sedikitnya 30 juta UMKM yang bangkrut terimbas pandemi.
UMKM masih mengalami kendala utama yang sama seperti sebelum pandemi, yakni sulit mengakses modal untuk menjalankan usaha. Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang ditawarkan pemerintah dengan rate bunga sebesar 6-7 persen agaknya kurang diminati. Program ini makin tidak dilirik karena prosesnya ribet. Sudah begitu, jangka waktu pengembaliannya amat terbatas. Jenis produk pembiayaan juga umumnya tidak sesuai dengan karakteristik usaha.
Penyaluran KUR melalui bank-bank besar jelas tidak friendly bagi pelaku usaha kecil yang baru merintis usaha. Syarat semisal usaha telah aktif berjalan minimal setengah tahun, tentu sulit dipenuhi oleh pengusaha baru. Pelbagai inisiatif usaha baru tak kunjung terwujud karena sulitnya pendanaan, meski nilai kelayakan usahanya tinggi.
Masalah yang juga sering dikemukakan adalah jaminan. Semakin tinggi pinjaman modal yang diajukan, makin tinggi pula besaran nilai agunan yang disyaratkan. Kalaupun ada kredit tanpa agunan, batas pinjamannya terbilang kecil, maksimal Rp 50 juta. Belum lagi sejumlah persyaratan lain yang cenderung demanding. Misalnya, harus tergabung dalam market-place tertentu, sudah memanfaatkan sistem pembayaran QRIS, bekerja sama dengan pelaku startup, dan telah menghasilkan omzet per hari sesuai ketentuan.
Bagi sebagian UMKM yang literasi digitalnya masih rendah dan jauh dari infrastruktur yang memadai, persyaratan seperti itu sulit dipenuhi. Hal ini memang bertujuan baik untuk mendorong para pelaku UMKM segera melakukan transisi digital terhadap kegiatan bisnisnya. Namun, kesulitan melaksanakan transformasi digital itu sendiri masih dirasakan oleh pengusaha sektor UMKM. Masih ada kesenjangan kapasitas skill dan pengetahuan untuk melaksanakan digitalisasi antar masyarakat kota besar dan di daerah.
Beratnya persyaratan untuk mendapatkan kredit dari bank membuat sebagian UKM mencari jalan lain agar modal terkumpul. Mereka yang punya tekat kuat merelakan aset pribadi dijadikan modal. Ada juga yang terpaksa meminjam dari keluarga atau kolega, meski cara informal ini rawan masalah. Pada akhirnya, terjadi ironi. Di satu sisi penyaluran KUR tidak maksimal, di sisi lain banyak pengusaha kecil terutama di daerah yang kesulitan modal. Ironisnya lagi, dari dulu hingga kini masalahnya masih itu-itu saja.
Bentuk support Jepang
Seperti Indonesia, mayoritas dari bisnis dalam negeri di Jepang berupa UMKM. Dilansir dari laporan OECD pada 2022, UMKM mencakup 99,7% dari seluruh kegiatan bisnis dalam negeri dan mempekerjakan 69% dari keseluruhan tenaga kerja swasta. Oleh karena itu, pemerintah Jepang berkepentingan menjaga daya tahan UMKM dari situasi krisis akibat pandemi karena pelakunya tidak sedikit. Pelajaran dari Jepang dalam mendukung pelaku UMKM ini agaknya layak ditiru.
Pertama, kebijakan pemulihan ekonomi paska pandemi. Pemerintah Jepang menyediakan pos konsultasi bagi pelaku usaha yang ingin bangkit setelah terpuruk akibat pandemi. Ini memungkinkan pelaku usaha mengembangkan rencana di luar urusan pendanaan. Dibanding jorjoran menawarkan program kredit, pemerintah Jepang lebih memilih memberikan relaksasi masa pengembalian utang. Sementara bagi UMKM yang benar-benar butuh suntikan modal, pemerintah menerbitkan surat pertimbangan agar bank dan lembaga keuangan memberikan kemudahan. Sejak awal pandemi mendera, pemerintah menyusun skema penjaminan keuangan yang agar beban UKM tak makin berat. Ada jaminan pinjaman 100 persen, bebas bunga, tanpa agunan, dan pembayaran cicilan kredit dilonggarkan.
Kedua, model pembiayaan. Di Jepang terdapat Japan Finance Corporation (JFC), lembaga keuangan khusus milik pemerintah yang menyediakan modal bagi pengusaha mikro hingga menengah. Lembaga ini mengucurkan kredit sesuai skala bisnis yang diajukan pemohon. Bagi usaha kelas mikro yang dikelola individu, tersedia pinjaman rata-rata sebesar 7,03 juta Yen (setara Rp 740 juta) per bisnis dengan besaran bunga dua persen per tahun. Ada juga pinjaman tanpa penjamin maupun agunan, namun rate bunga pertahunnya lebih tinggi.
Bagi pengusaha kelas menengah dan perusahaan kecil, tersedia pinjaman khusus dalam jangka panjang di atas lima tahun. Besarnya hampir dua kali lipat dari usaha mikro, sekitar Rp 1 miliar. Rate bunga dipatok sama, yaitu dua persen per tahun dengan sistem flat hingga jatuh tempo. Skema ini membantu pengusaha untuk mencapai keuangan yang stabil sehingga berkesempatan membesarkan bisnis ketimbang sibuk membayar utang.
Ketiga, mediator pelaku usaha dan perbankan. JFC tidak seperti bank konvensional yang memprioritaskan profit tinggi. Lembaga ini konsisten mendukung pengusaha UMKM untuk mengatasi masalah finansial dalam usahanya. Karena itu, pemberian pinjaman oleh JFC tidak semata didasarkan pada profitabilitas. Hal lain yang dinilai agar layak diberi pinjaman adalah passion si pengusaha, rencana bisnis secara keseluruhan, dan pengaruh positif apa yang dapat diberikan kepada komunitas.
Bank konvensional biasanya memberikan persyaratan ketat agar tidak merugi ketika mengucurkan kredit terutama pada bisnis yang memiliki risiko tinggi. Tidak demikian dengan JFC. Jika ada proposal usaha yang memiliki risiko tertentu, JFC akan melihat mencermati rencana bisnisnya secara komprehensif sehingga dapat merancang mitigasi risiko serta melihat manfaat lebih besar yang dapat menjadi pertimbangan khusus. Ini karena JFC adalah kepanjangan tangan pemerintah untuk mengayomi sektor UMKM agar dapat mendorong penciptaan lapangan kerja dan meningkatkan produktivitas daerah setempat.
JFC juga punya unit khusus yang berperan menjamin liabilitas atau memberikan garansi kredit bagi UMKM yang mengalami masalah permodalan dan pengembalian pinjaman. Skemanya diatur secara khusus dalam regulasi nasional. JFC mengalokasikan dana khusus untuk garansi terhadap bank jika ada kredit UMKM yang bermasalah. Dengan demikian, bank dapat lebih longgar memberikan persetujuan kredit tanpa kuatir macet.
Dari ketiga hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa dukungan bagi UMKM akan efektif jika dilakukan dengan kebijakan yang tidak bersifat parsial. Program kredit UMKM dapat berjalan lancar ketika memang didisain untuk memihak UMKM tanpa merugikan sektor finansial. Cara ini jelas friendly bagi semua pihak yang mengedepankan kepentingan bersama.