Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI: Kebijakan Keuangan Hijau Bank Indonesia dalam Mendukung Ekonomi yang Berkelanjutan

Bank sentral sebagai otoritas keuangan juga turut mendukung pengembangan Green Economy melalui berbagai macam tools kebijakan yang dimilikinya.
Kebijakan Keuangan Hijau Bank Indonesia dalam Mendukung Ekonomi yang Berkelanjutan
Kebijakan Keuangan Hijau Bank Indonesia dalam Mendukung Ekonomi yang Berkelanjutan

Bisnis.com, JAKARTA - Saat ini, perubahan iklim menjadi topik yang sedang hangat diperbincangkan di berbagai belahan dunia. Hal ini dikarenakan perubahan iklim menyebabkan berbagai macam bencana alam, yang tidak hanya berdampak pada kerusakan lingkungan namun juga menimbulkan kerugian yang besar pada perekonomian global.

Adanya Paris Agreement yang diikuti dengan COP26 (Glasgow Climate Pact) menunjukkan komitmen negara-negara di dunia untuk mengatasi perubahan iklim dan dampak negatifnya terutama terhadap perekonomian sehingga negara-negara di dunia mulai mendorong pengembangan Green Economy.

Bank sentral sebagai otoritas keuangan juga turut mendukung pengembangan Green Economy melalui berbagai macam tools kebijakan yang dimilikinya.

Indonesia memiliki komitmen untuk mengembangkan Green Economy yang ditunjukkan pada kebijakan-kebijakan pemerintah untuk mendorong penurunan emisi karbon dan mendukung ekonomi yang berkelanjutan. Kondisi geografis Indonesia sangat rentan terhadap bencana alam karena merupakan negara kepulauan yang terletak di “ring of fire”, berpotensi memberikan dampak kerugian ekonomi yang sangat besar.

Berdasarkan data BAPPENAS, kerugian ekonomi Indonesia akibat cuaca ekstrim mencapai Rp100 triliun/tahun dan potensi kerugian ekonomi tahun 2020-2024 jika tidak dilakukan intervensi kebijakan adalah sebesar Rp544 triliun. Saat ini inisiatif kebijakan hijau di kementrian dan lembaga telah dilakukan namun masih parsial dan belum terintegrasi.

Sementara itu, kondisi yang diinginkan di masa yang akan datang yaitu tercapainya target Net Zero Emission tahun 2060, yang kedua yaitu peningkatan ekonomi yang berkelanjutan dengan Sistem Keuangan yang resilien dalam menghadapi risiko terkait iklim untuk mendukung ketahanan nasional. 

Dalam menghadapi kondisi lingkungan strategis dan tantangan serta risiko yang timbul dari perubahan iklim terhadap ketidakstabilan keuangan untuk menuju desired state, maka diperlukan penguatan kebijakan keuangan hijau Bank Indonesia dalam rangka mendukung ekonomi yang berkelanjutan. 

Menurut Carney dari BoE, terdapat 3 risiko yang ditimbulkan dari Perubahan Iklim yaitu Risiko Transisi, Fisik dan Liabilitas. Risiko Transisi menggambarkan ketidakpastian terkait dengan perubahan kebijakan, harga, dan nilai yang mungkin terjadi dalam proses mitigasi perubahan iklim dan penurunan emisi karbon.

Risiko Fisik menggambarkan risiko bencana alam yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan kerugian ekonomi, seperti gangguan perubahan pasokan global. Risiko Liabilitas menggambarkan risiko yang terjadi dari ketidakpastian seputar potensi kerugian keuangan dan kompensasi klaim yang berasal dari kerugian akbibat perubahan iklim. 

Menurut ADBI, bank sentral memiliki tanggung jawab untuk menjaga stabilitas keuangan dan makroekonomi, baik secara implisit maupun eksplisit. Oleh karena itu, penguatan kebijakan keuangan hijau oleh BI sebagai bank sentral sangat penting dalam rangka memitigasi risiko financial instability akibat environmental risks. 

David Barmes dalam paper nya yang berjudul “The Green Central Banking Scorecard” menjelaskan bahwa green central bank yang ideal adalah bank sentral yang telah memasukkan kebijakan hijau ke dalam 4 kategori yaitu: riset dan advokasi, kebijakan moneter, kebijakan keuangan, dan leading by example.

Pada kategori riset dan advokasi, green central banking diwujudkan dalam bentuk keikutsertaan sebagai anggota pada NGFS dan keaktifan dalam berbagai publikasi lingkungan.  Pada kategori kebijakan moneter, green central banking diwujudkan dalam bentuk adopsi kebijakan hijau ke dalam kebijakan moneter hijau.

Untuk kebijakan keuangan, seringkali disebut sebagai prudential policy (microprudential & macroprudential) green central banking diwujudkan dalam bentuk kebijakan keuangan hijau. Kategori terakhir yaitu leading by example ditunjukkan dengan kepemimpinan bank sentral dalam pengungkapan environmental risk yang dihadapi bank sentral.

Mengacu pada kerangka koordinasi tersebut pencapaian sasaran utama dimotori oleh Tim Pengembangan Keuangan Hijau Nasional, yang terdiri atas 3 sektor utama, yaitu sektor fiskal, sektor riil, dan sektor keuangan. Sektor fiskal dimotori oleh pemerintah yang akan memberikan berbagai kebijakan transisi sektoral untuk mendukung korporasi dan UMKM bertransformasi dari kegiatan usaha coklat ke hijau.

Pada sektor keuangan Bank Indonesia sebagai otoritas makroprudensial dan OJK sebagai otoritas mikroprudensial mendukung pertumbuhan pembiayaan hijau yang diberikan perbankan kepada korporasi dan UMKM untuk melakukan kegiatan hijau dan investasi pada infrastruktur hijau.

Dukungan pemerintah dalam pengembangan Green Economy dituangkan dalam RPJMN 2020–2024. Selain itu otoritas keuangan juga telah melakukan inisiatif untuk mendukung pengembangan Green Economy, antara lain: Inisiatif kebijakan Kementrian Keuangan, berupa Anggaran Belanja Perubahan Iklim di K/L, Perpajakan, Green Bond Sukuk Framework. 

Saat ini, kebijakan keuangan hijau BI yang telah diimplementasikan adalah LTV hijau, kebijakan ini memungkinkan perbankan memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk mengajukan pembiayaan pada properti dan kendaraan yang ramah lingkungan dengan uang muka yang lebih rendah. 

Kebijakan makroprudensial yang bisa diterapkan yang pertama adalah Rasio Intermediasi Makroprudensial Hijau, bertujuan untuk pengelolaan fungsi intermediasi perbankan agar sesuai dengan kapasitas dan target pertumbuhan perekonomian hijau serta tetap menjaga prinsip kehati-hatian.

Perbankan yang telah menyalurkan pembiayaan hijau dan kepemilikan SSB hijau, dapat diberikan insentif berupa pelonggaran kewajiban pemenuhan RIM, saat ini untuk BUK berada pada range 84-94%. Kebijakan yang kedua adalah Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial hijau, yang bertujuan untuk mendorong pembiayaan inklusif hijau dan sektor tertentu hijau yang telah ditentukan oleh pemerintah. Insentif akan diberikan kepada perbankan yang telah menyalurkan pembiayaan inklusif hijau berupa kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM.

Kebijakan yang ketiga adalah Penyangga Likuiditas Makroprudensial hijau, yang bertujuan untuk mengatasi prosiklikalitas likuiditas serta menjadi instrumen makroprudensial hijau berbasis likuiditas yang berlaku bagi seluruh bank. Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi hijau, perbankan diberi insentif berupa keleluasaan untuk memenuhi kewajiban PLM melalui kepemilikan Surat-Surat Berharga Hijau yang memenuhi standar High Quality Liquidity Asset.

Kebijakan berikutnya adalah Giro Wajib Minimum hijau, yang bertujuan untuk mengatur tingkat likuiditas perbankan. Perbankan yang telah menyalurkan pembiayaan hijau akan diberikan insentif GWM berupa kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM yang saat ini senilai 6% dari total DPK BUK, dan/atau pemberian rate remunerasi GWM yang lebih tinggi daripada ketentuan saat ini yang bernilai 1.5% untuk BUK. 

Rekomendasi kebijakan yang feasible untuk dilakukan pada jangka pendek mencakup RIM Hijau, RPIM Hijau, Kalkulator Karbon, GWM Hijau, dan kajian perluasan eligible green collateral dalam operasi moneter. Bank Indonesia perlu melakukan penguatan kebijakan keuangan hijau untuk mendukung ekonomi yang berkelanjutan dengan sistem keuangan yang resilien.

Adapun rekomendasi tindak lanjut yang perlu dilakukan untuk mendukung penguatan kebijakan keuangan hijau tersebut, yaitu melakukan sinergi dengan otoritas dan perbankan untuk mendorong keuangan hijau, percepatan implementasi kebijakan jangka pendek seperti kalkulator karbon.

Berikutnya melakukan sosialisasi edukasi kepada perbankan dan masyarakat untuk meningkatkan literasi dan pemahaman terhadap keuangan hijau, yang terakhir adalah assessment kajian potensi perluasan eligible green collateral dalam Operasi Moneter serta potensi Quantitative Easing melalui pembelian green bonds.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper