Bisnis.com, JAKARTA- Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) membeberkan masalah hilirisasi industri sawit yang masih dinilai kurang optimal lantaran peran petani sawit yang masih minim.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Apkasindo, Gulat Manurung mengatakan pemerintah seharusnya mendorong petani sawit untuk maju dengan berbagai produk turunannya, termasuk dalam bentuk Crude Palm Oil (CPO).
"Pemerintah membiarkan petani sawit tetap di hulu itu kesalahan besar. Permasalahan hilirisasi di industri sawit itu sederhana, kasih saja porsinya ke petani untuk mengambil peran," kata Gulat saat ditemui Bisnis di sela-sela agenda Advokasi Sawit di Jakarta, Senin (14/8/2023).
Dalam proses hilirisasi industri ini, petani sawit justru gigit jari karena nilai investasi yang cukup besar untuk membangun pabrik yakni dengan minimal modal 30 persen dari total investasi.
Menurut Gulat, kondisi tersebut cukup sulit dilakukan oleh para petani untuk mengolah secara mandiri produk yang dihasilkannya. Sementara, untuk mengambil dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tidak dapat dilakukan dengan mudah.
"Duit kami yang dikelola dan disalurkan oleh BPDPKS, kenapa kami gak bisa ambil? Kenapa kalau untuk program Biodiesel dia langsung kasih, ini ketidakadilan," ujarnya.
Baca Juga
Tak hanya itu, dia juga menyoroti salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yakni peremajaan sawit rakyat yang dinilai tidak terlalu signifikan capaiannya.
Dalam catatannya, progres capaian peremajaan sawit hanya mencapai 9 persen pada 2022, dan 14 persen pada tahun 2021. Sejak tahun 2017 dimulai, tercatat peremajaan sawit yang dilakukan mencapai 258.000 hektare dari target 500.000 hektare.
"Satu-satunya cara kami [petani sawit] untuk masuk kesana adalah dengan cara masuk hilirisasi, hilirasasi juga bisa sukses kalau kita sukses dalam PSN," terangnya.
Di sisi lain, Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman tak menampik adanya stigma bahwa lembaga mitra pemerintah ini pro kepada pengusaha sawit khususnya yang bergerak di bidang biodiesel.
Menurutnya, hal tersebut dilakukan karena memang proporsi dana BPDPKS terbesar saat ini dialokasikan untuk membiayai pengembangan bahan bakar nabati berasal dari sawit dalam bentuk biodiesel.
"Mengapa demikian? Karena program biodiesel ini merupakan program yang sangat penting khususnya untuk keberlanjutan daripada industri sawit," ujarnya.
Pemerintah merancang program prioritas untuk biodiesel dalam rangka menciptakan pasar domestik yang sehat agar penyerapan produksi sawit yang dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Dia menerangkan, sebelum ada program biodiesel, pasar ekspor lebih mendominasi dalam penyerapan produk sawit lokal. Sementara, kegunaannya sangat penting dalam menunjang industri pangan, oilfood, hingga chemical.
"Ini memberikan dampak kita sangat tergantung pada pasar ekspor, di mana harga daripada minyak sawit itu lebih banyak ditentukan oleh pasar-pasar luar negeri," paparnya.
Lebih lanjut, dia menuturkan, volume mandatori biodiesel ini dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada tahun 2023, volume biodiesel dialokasikan kurang lebih 12,9 juta metrik ton.
"Pada tahun yang lalu bisa mencapai 9 juta metrik ton. Begitu besar serapan daripada biodiesel itu tadi sehingga memberikan dampak positif terhadap stabilisasi harga sawit di dalam negeri," pungkasnya.