Bisnis.com, JAKARTA- Setelah molor dari target realisasi pada Juni lalu, Kementerian Perdagangan mengungkapkan Bursa Crude Palm Oil atau CPO segera terbentuk. Hanya saja, meski pengusaha dan petani sawit sepakat, masih terdapat berbagai kendala yang berpotensi menyulut polemik.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) melalui Bursa Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi atau Bappebti sebelumnya menargetkan realisasi Bursa CPO bisa rampung pada Juni lalu. Namun, hingga kini realisasi pembentukan Bursa CPO masih terkatung-katung.
Kabar terakhir sebagaimana disampaikan pihak Bappebti, regulasi terkait Bursa CPO tengah menjalani harmonisasi.
Tidak hanya itu, pembentukan Bursa CPO inipun tak lantas mudah. Bappeti mengklaim sangat hati-hati dalam merancang kebijakan.
“Ini kami sangat hati-hati. Pak Mendag targetkan Juni tapi gagal dipenuhi,” ungkap Kepala Bappebti Didid Noordiatmoko, dalam konfrensi pers, akhir pekan lalu.
Terdapat beberapa pertimbangan yang melatari Indonesia ngotot membentuk Bursa CPO. Selama ini, acuan harga CPO bersandar pada Malaysia Derivatives Exchange (MDEX) dan Bursa Rotterdam.
Baca Juga
Persoalannya, acuan harga di pasar derivative tersebut dirasa tidak memuaskan. Acuan harga di luar negeri itu seringkali tidak transparan karena tidak realtime, sehingga memunculkan gejala underpricing.
Sebaliknya, Indonesia sangat berkepentingan dengan harga CPO yang lebih adil. Pasalnya, hingga kini, Indonesia masih merupakan eksportir terbesar CPO dengan total volume tembus 30,8 juta ton pada tahun lalu.
Bagi pemerintah, acuan harga melalui Bursa CPO bakal memperbaiki besaran penerimaan negara melalui pajak maupun pungutan ekspor. Tidak hanya itu, keberadaan Bursa CPO juga memudahkan bagi penyusunan rencana anggaran.
“Walaupun nilai ekspor surplus, potensi penerimaan negara belum maksimal untuk masyarakat Indonesia [karena acuan bursa di luar],” kata Didid.
Di sisi lain, pada tingkat petani, kehadiran Bursa CPO yang lebih transparan akan mendongkrak nilai penerimaan sekaligus kesejahteraan. Lebih jauh, Bursa CPO yang mengatur tidak saja harga ekspor melainkan juga domestik, bakal memberesi patokan harga biodiesel.
Pihak petani pun ikut mendukung kehadiran Bursa CPO. Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengamini kehadiran acuan harga di dalam negeri itu bakal memblejeti permainan curang dari rantai tengah (middle) perdagangan sawit.
Selama ini, tegas Gulat, hanya pihak eksportir serta Pabrik Kelapa Sawit atau PKS yang mengklaim harga dan mencuri untung dari flukutasi harga CPO. “PKS-PKS tanpa grup tidak ada lagi alasan mengatan bahwa CPO-nya dibeli murah oleh pembeli, sehingga terpaksa membeli TBS petani dengan murah meriah,” tutur Gulat.
Bursa CPO yang dinanti pun bakal menghadirkan acuan harga secara realtime dan bisa dipantau oleh semua pihak, baik dari petani, PKS, pengusaha hingga pemerintah. “Terus terang memang aka nada yang akan terganggu karena bursa ini, biasanya pemain menengah ke bawah,” kata Gulat.
Sebaliknya, pengusaha sawit meski menyatakan dukungan, tetap memberikan catatan terhadap rencana pendirian Bursa CPO. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengingatkan pendirian Bursa CPO tidak berujung pada penambahan biaya kepada para pelaku usaha.
Sebab, rencana pelaksanaan Bursa CPO dikabarkan bakal memungut biaya mandatori yang dikumpulkan dari para pengusaha. “Pengusaha sudah ada Pungutan Ekspor, Bea Keluar, dan nanti ada biaya mandatori. Kami mengusulkan biaya mandatori, diganti dengan sukarela,” kata Eddy.
Di samping itu, pendirian Bursa CPO juga masih tersangkut dengan polemik adanya kemungkinan Bappebti menggandeng MDEX. Padahal, para petani dan pengusaha menilai Bursa CPO hadir karena ingin berbeda dari MDEX.
Sebaliknya dari kacamata Bappeti, kolaborasi dengan MDEX bisa berbagi pengalaman. Lebih jauh, Malaysia dan Indonesia tengah sama-sama berjuang melawan kebijakan ketat dari Uni Eropa terkait sawit.