Bisnis.com, JAKARTA - China pertama kalinya mencatatkan deflasi pada Juli 2023 sejak Februari 2021. Apa saja dampak yang diterima bagi para pebisnis, investor asing, hingga ekonomi global?
Melansir Bloomberg, Rabu (9/8/2023), Biro Statistik Nasional (NBS) China melaporkan indeks harga konsumen (IHK) pada Juli 2023 mengalami penurunan sebesar 0,3 persen secara year-on-year (yoy), lebih rendah dari proyeksi ekonom dengan deflasi 0,4 persen.
Kemudian, indeks harga produsen juga mengalami penurunan selama 10 bulan berturut-turut dengan kontraksi sebesar 4,4 persen (yoy) pada Juli 2021.
Dengan pelaporan dua data tersebut, maka ini adalah pertama kalinya indeks harga konsumen dan produsen mencatat kontraksi bersamaan sejak November 2020.
Berdasarkan pemberitaan Bloomberg yang dikutip Jumat (11/8/2023) harga yang lebih murah kini mungkin hanya terlihat baik bagi konsumen pada pandangan pertama. Namun, ini tidak berarti pembeli akan mulai membelanjakan uangnya.
Ketika harga turun di berbagai barang untuk waktu lama, orang mulai berpikir untuk menunda membeli barang mahal seperti peralatan, dan terus berpikir bahwa harga akan terus menurun. Hal ini dapat mengekang aktivitas ekonomi lebih jauh.
Dampak bagi Pelaku Bisnis
Harga yang lebih murah dapat menyebabkan pendapatan dan laba yang lebih lemah. Hal ini dapat mendorong perusahaan membatasi investasi dan perekrutan tenaga kerja baru.
Deflasi juga dapat meningkatkan tingkat suku bunga riil atau suku bunga yang disesuaikan dengan inflasi dalam perekonomian. Kenaikan biaya cicilan pinjaman dapat mengurangi kemampuan pelaku bisnis untuk berinvestasi yang dapat membuat permintaan berkurang dan dapat mendorong potensi deflasi lebih lagi.
Beberapa ekonom percaya bahwa “deflasi utang” seperti ini dapat memicu resesi atau depresi karena orang-orang gagal membayar pinjaman mereka dan bank-bank menjadi lemah.
Dampak bagi Investor Asing
Dampak yang paling terlihat jelas adalah pada pendapatan perusahaan, di mana para perusahaan memangkas harga selama masa deflasi. Hal ini dapat memberikan sedikit keuntungan pada obligasi, yang melindungi investor dengan lebih baik selama masa-masa sulit.
Kekhawatiran mengenai pertumbuhan dan investasi yang terbatas biasanya mendorong pemerintah untuk menerapkan kebijakan moneter yang lebih longgar, sehingga membuat obligasi suatu negara menjadi lebih menarik.
Namun, kepala strategi FX Asia di Mizuho Bank Ltd., Ken Cheung, mengatakan imbal hasil utang negara China terlalu rendah dibandingkan dengan pasar utama, untuk menarik bagi trader asing.
Dampak bagi Ekonomi Global
Setidaknya dalam jangka pendek, mungkin terdapat beberapa manfaat bagi negara-negara maju.
Ketika produsen China memangkas harganya untuk mengurangi pasokan yang berlebih, hal ini dapat menyebar ke tempat seperti AS dan Eropa, memberikan bantuan bagi bank sentral di sana untuk menjinakkan inflasi yang meningkat.
Namun, langkah tersebut menjadi terbatas lantaran kedua kawasan menjadi lebih proteksionis dalam beberapa tahun terakhir, dan berupaya mengurangi ketergantungannya kepada China.
Barang-barang buatan China juga merupakan bagian yang relatif kecil dari pengeluaran konsumen di negara-negara maju. Contoh, indeks harga konsumen (IHK) AS didominasi oleh tempat tinggal, makanan, energi dan perawatan medis yang relatif kecil hubungannya dengan impor China.
Pasar negara berkembang kemudian dapat menyambut harga mesin yang lebih rendah. Namun, terdapat beberapa peringatan karena para analis mencatat bahwa negara-negara tersebut mungkin waspada dalam menyambut terlalu banyak persaingan China, yang melemahkan industri domestik.