Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Bagong Suyanto

Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Memastikan Pertumbuhan Ekonomi RI

World Economic Outlook edisi Juli 2023 disebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan hanya mencapai 5% pada 2024.
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Gedung bertingkat di jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan. JIBI/Feni Freycinetia
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Gedung bertingkat di jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan. JIBI/Feni Freycinetia

Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia selama pandemi Covid-19 hingga pertengahan 2023 dipuji-puji sebagai salah satu negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang stabil dan tinggi. Namun, di tahun 2024 nanti proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi turun oleh Dana Moneter Internasional (IMF).

Dalam laporan World Economic Outlook edisi Juli 2023 disebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan hanya mencapai 5% pada 2024. Angka proyeksi itu lebih rendah 0,1% dari proyeksi IMF sebelumnya.

Proyeksi penurunan pertumbuhan ekonomi ini diprediksi tidak hanya dialami Indonesia, melainkan akan terjadi di berbagai negara berkembang yang diproyeksikan juga turun 0,1%.

Pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang diprediksi hanya 4,1% pada tahun depan—turun dari proyeksi IMF sebelumnya sebesar 4,2%. Kabar ini tentu perlu disikapi dengan hati-hati.

Sejumlah faktor yang menjadi penyebab pertumbuhan ekonomi turun, antara lain karena dipengaruhi oleh ketidakstabilan investasi, konsumsi, pendapatan nasional, pengeluaran, dan ekspor-impor.

Selain itu, penurunan pertumbuhan ekonomi sebuah negara turun juga dipengaruhi oleh negara-negara yang selama ini menikmati keuntungan situasi akibat lonjakan harga komoditas di tahun-tahun sebelumnya —entah karena imbas pandemi Covid-19 maupun karena efek perang Rusia-Ukraina.

Di tahun 2024, tidak semua negara akan mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Negara yang memiliki fondasi ekonomi yang tangguh tentu kemungkinan mereka mengalami perlambatan atau bahkan penurunan pertumbuhan ekonomi akan lebih kecil.

Ini berbeda bila dibandingkan negara yang fondasi ekonominya rapuh dan tidak memiliki performa ekonomi yang layak. Sejumlah faktor yang menurunan pertumbuhan ekonomi adalah:

Pertama, perlambatan pertumbuhan ekonomi diprediksi akan banyak dirasakan oleh negara-negara yang memiliki kegantungan tinggi terhadap komoditas.

Di berbagai belahan dunia, harga komoditas dilaporkan mulai mengalami normalisasi, setelah sebelumnya pada 2022 mengalami lonjakan yang signifikan. Setelah kondisi mulai kembali normal, di berbagai negara yang banyak memetik keuntungan dari kenaikan harga komoditas kini pendapatan mereka dari ekspor komoditas bisa dipastikan akan mulai turun.

Kedua, penurunan permintaan pasar global adalah faktor yang tak terhindarkan, yang menyebabkan kinerja ekspor turun dan harga komoditas tidak lagi terlalu menjanjikan. Akibat pelemahan ekonomi global, kinerja ekspor mau tidak mau terkena imbasnya.

Menurut data Kementerian Keuangan, kinerja ekspor pada Juni 2023 dilaporkan ambles 21,2% secara tahunan (year-on-year/YoY). Penurunan permintaan global dan turunnya harga komoditas menjadi penyebab kenapa pemasukan negara menjadi banyak berkurang.

Ketiga, ketika ketidakpastian ekonomi global disebut masih tinggi dan pertumbuhan ekonomi global diperkirakan hanya 2,7%, maka jangan kaget jika banyak negara akan mengalami sejumlah masalah termasuk inflasi.

Indonesia sendiri tentu akan sekuat mungkin mengendalikan inflasi. Target Bank Indonesia, inflasi bisa kembali ke dalam sasaran 3% plus minus 1% pada sisa tahun ini dan 2,5% plus minus 1% pada 2024. Namun, untuk memastikan inflasi dapat dikendalikan demi kepastian perekonomian tentu bukan hal yang mudah.

Upaya yang dikembangkan Bank Indonesia untuk mendongrak pertumbuhan ekonomi dan mengendalikan inflasi niscaya perlu usaha ekstra keras.

Kalau menyimak data bahwa banyak perusahaan di Indonesia yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap bahan baku impor, maka bisa dipastikan upaya untuk meredam inflasi tidaklah semudah membalik telapak tangan.

Ketika biaya produksi meningkat, kenaikan inflasi niscaya tidak akan tercegah. Secara umum, inflasi kenaikan biaya produksi yang mungkin terjadi di Indonesia disebabkan karena desakan biaya faktor produksi yang terus naik.

Inflasi yang disebabkan oleh kenaikan biaya produksi ini biasanya terjadi di negara dengan pertumbuhan ekonomi yang sedang berkembang atau tumbuh pesat seperti Indonesia, ditambah dengan angka pengangguran yang cukup rendah.

Menurut data, kinerja ekonomi Indonesia pada Februari 2023 dilaporkan lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Tren merosotnya nilai ekspor Indonesia tercatat telah berlangsung selama 6 bulan berturut-turut.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor pada Februari 2023 hanya sebesar US$21,4 miliar. Nilai tersebut lebih rendah 4,15% dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mencapai US$22,32 miliar.

Tren penurunan nilai ekspor Indonesia telah berlangsung selama 6 bulan sejak September 2022. Nilai ekspor pada September 2022 sebesar US$24,8 miliar atau anjlok 10,58% dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Memastikan

Untuk memastikan agar Indonesia mampu bertahan dan bahkan kemudian berkembang menjadi negara maju, pertumbuhan ekonomi Indonesia harus bisa mencapai kisaran 6%—7%. Apakah upaya yang dilakukan akan membuahkan hasil seperti yang diharapkan? Untuk menjawab pertanyaan ini, waktu lah yang akan membuktikan. Walaupun Indonesia sering dipuji lembaga donor dan negara lain, tetapi yang penting tentu bukan pujian itu.

Bank Indonesia (BI) menyatakan perekonomian Indonesia ke depan akan lebih baik dibandingkan perkiraan sebelumnya di tengah tingginya ketidakpastian global.

Kenaikan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia ini terutama didorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga dan investasi. Investasi menjadi salah satu kunci utama agar perkembangan usaha di Indonesia tidak jalan di tempat. Sedangkan inflasi perlu terus dikendalikan agar tidak menganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Untuk memastikan agar para investor tertarik menanamkan modalnya di Indonesia, ruang bagi perkembangan dunia industri tentu harus dibuka seluas-luasnya.

Sementara itu fenomena yang kontradiktif adalah Indonesia disebut-sebut justru tengah mengalami deindustralisasi dini. Ini adalah proses kebalikan dari industrialisasi, yaitu penurunan kontribusi sektor industri terhadap pengolahan nonmigas terhadap produk dosmestik bruto (PDB).

Share manufaktur Indonesia yang dulu sempat menyentuh angka 32%, sekarang hanya tinggal. 18,3%. Kontribusi industri pengolahan terhadap PDB 5 tahun terakhir di bawah angka 20%. Pada 2022 hanya 18,3%, pada 2021 sebesar 19,25%

Ke depan, sejumlah langkah yang perlu dikembangkan untuk memastikan agar pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap membanggakan, antara lain: memacu produktivitas tenaga kerja terampil, menurunkan biaya logistik, meningkatkan investasi dengan kemudahan perizinan, penghiliran industri berbasis sumber daya alam, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, serta mempertahankan atau bahkan merangsang daya beli masyarakat.

Pengendalioan inflasi bukanlah sekadar soal moneter. Di sini membutuhkan keterlibatan dari berbagai stakeholder untuk memastikan harga jual produk tetap menguntungkan, permintaan pasar tetap tinggi, dan berkelanjutan. Tanpa ada usaha yang benar-benar serius dan berkolaborasi dengan seluruh stakeholder terkait, jangan harap pertumbuhan ekonomi akan dapat diwujudkan. Bagaimana pendapat anda?


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Bagong Suyanto
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper