Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Remon Samora

Analis Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Papua

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: Menjinakkan 'Badak Abu-abu"

Eksistensi bank sentral dinilai berperan esensial dalam mengelola risiko keuangan terkait perubahan iklim.
Menjinakkan badak abu-abu/istimewa
Menjinakkan badak abu-abu/istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Semua badak tentu berukuran besar dan kuat. Meski dia bukanlah hewan jinak dan cukup berbahaya, seringkali hal itu dianggap remeh.

Sampai ketika dia mulai berlari dan mengarahkan culanya ke manusia, di saat itulah badak benar-benar dianggap sebagai sebuah ancaman. Demikian analogi teori 'badak abu-abu' yang dipopulerkan Michele Wucker (2016) dalam bukunya “The Gray Rhino”.

Konsep ini berbeda makna dengan ‘angsa hitam’ karya Nassim Nicholas Taleb. Angsa hitam melambangkan sebuah kondisi ekstrem yang tidak terprediksi sebelumnya.

Badak abu-abu justru sebaliknya. Dia merepresentasikan satu bahaya yang sudah disadari, namun acap diabaikan karena tampak tidak mendesak.

Metafora ini lantas mengingatkan kita sebuah ancaman besar yang kini memerlukan penanganan lebih serius. Namanya krisis perubahan iklim.

Hasil penelitian Swiss Re Institute (2021) bisa menjadi rujukan. Dalam skenario terburuk tanpa langkah preventif, suhu bumi diperkirakan naik 3,2 derajat celcius.

Akibatnya ekonomi dunia diproyeksi tergerus hingga 18% pada 2050. Namun, jika implementasi Perjanjian Paris bisa tercapai sepenuhnya, peningkatan suhu akan di bawah 2 derajat celcius. Kerugian ekonomi global juga terbatas hanya sebesar 4%.

Ramalan buruk serupa boleh jadi menimpa Indonesia. Cuaca ekstrem di tanah air telah menyebabkan kerugian lebih dari Rp100 triliun per tahun. Angka ini diproyeksi terus meningkat sampai dengan 40% Produk Domestik Bruto Indonesia pada 2050.

Ekses negatif yang sama juga berpotensi mengguncang stabilitas sistem keuangan. Terhentinya aktivitas ekonomi akibat bencana alam berskala masif berpengaruh buruk pada kemampuan bayar debitur.

Pada saat yang bersamaan, kerusakan properti yang dialami juga menurunkan nilai aset yang menjadi agunan kredit. Muara akhirnya, risiko gagal bayar dan risiko pasar sebagai taruhannya. 

Eksistensi bank sentral dinilai berperan esensial dalam mengelola risiko keuangan terkait perubahan iklim.

Ketua Network for Greening the Financial System (NGFS), Ravi Menon pernah berujar. Tahun 2020 hingga 2030 merupakan dekade kritis. Kebijakan bank sentral dalam kurun waktu ini akan menentukan arah komitmen emisi nol bersih pada 2050.

Dia menyebut periode ini sebagai momentum "keuangan untuk transisi dan transisi untuk keuangan". Transisi menuju keuangan hijau tidak cukup hanya menutup keran kredit untuk proyek padat karbon, lalu mengalihkannya ke bisnis ramah lingkungan.

Lebih dari itu, diperlukan pula transisi paradigma dalam regulasi keuangan oleh bank sentral sehingga lebih berpihak terhadap aktivitas ekonomi berkelanjutan.

Argumen ini sejalan dengan pendapat Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi 2001. Dalam sebuah artikel opini di surat kabar The Guardian, Stiglitz (2015) menyoroti pentingnya sinyal dari bank sentral bahwa pengambilan keputusan telah mempertimbangkan risiko perubahan iklim.

Tujuan akhirnya ialah memengaruhi perilaku pemain pasar untuk mendorong investasi hijau yang lebih berkelanjutan.

Berangkat dari konfigurasi problematika di atas, kebijakan bank sentral dalam memobilisasi aliran dana kredit ke sektor hijau sejatinya menjadi game changer. Apalagi APBN diperkirakan hanya mampu mendukung sekitar 34% dari total kebutuhan US$281 miliar untuk mencapai komitmen Perjanjian Paris.

Tak ayal dukungan pembiayaan oleh perbankan untuk memenuhi sisa kebutuhan dana tersebut sangatlah krusial.

Pada titik inilah kebijakan makroprudensial berperan sebagai senjata ampuh bank sentral. Kewenangan pengawasan terhadap sistem keuangan melalui kebijakan ini menempatkan bank sentral pada posisi yang memungkinkan pemberian insentif dan disinsentif, serta mengarahkan sumber daya menuju pendanaan hijau.

Lagipula, transmisi kebijakan makroprudensial ibarat rangkaian kartu domino. Ketika kartu paling depan dijatuhkan, barisan kartu berikutnya juga akan jatuh secara bergantian.

Demikian pula, tatkala insentif dan disinsentif makroprudensial diberlakukan, aliran kredit oleh perbankan diharapkan mengikuti arah sektor yang dituju oleh bank sentral. Memang tidak serta-merta seperti jatuhnya kartu domino, tetapi memiliki efek berantai yang sama.

Dalam konteks kekinian, Bank Indonesia (BI) secara konsisten memberlakukan sejumlah instrumen makroprudensial hijau yang akomodatif. Misalnya, rasio Loan to Value (LTV) hijau.

Melalui instrumen ini, uang muka pembelian untuk kredit properti dan kendaraan bermotor berwawasan lingkungan dimungkinkan sebesar 0%. Secara konseptual, langkah ini akan mendorong penyaluran kredit hijau dari sisi permintaan.

Sementara dari sisi penawaran, BI juga memberikan insentif kepada bank sebagai penyandang pembiayaan. Dalam regulasi terbaru yang mulai berlaku 1 April 2023, insentif tersebut berupa pelonggaran Giro Wajib Minimum yang bisa mencapai 0,3%. Syaratnya pangsa kredit properti dan kendaraan bermotor berwawasan lingkungan harus lebih besar dari 5%.

Stimulus ganda di atas niscaya berimplikasi layaknya kartu domino. Gairah kucuran kredit hijau tidak hanya dirasakan oleh sektor properti dan otomotif saja. Industri hijau lain yang terhubung dalam satu ekosistem rantai pasokan, contohnya baterai kendaraan listrik dan sebagainya juga akan menikmati durian runtuh.

Titik kulminasi

Bak gayung bersambut, kehadiran Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) seolah menjadi titik kulminasi. UU P2SK merupakan tonggak penting transformasi hijau bagi industri keuangan dalam merespon persoalan perubahan iklim yang menghantui dunia.

Secara khusus, UU P2SK memberikan mandat kepada BI untuk turut berkontribusi dalam keuangan hijau lewat kebijakan makroprudensial.

Setali tiga uang, semangat inovasi dan sinergi juga seakan tidak terlepas dari omnibus law sektor keuangan. Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, dan BI diamanatkan untuk membentuk Komite Keuangan Berkelanjutan dan menyusun taksonomi berkelanjutan.

Taksonomi berkelanjutan dapat diartikan sebagai klasifikasi sektor berdasarkan kegiatan usaha yang mendukung upaya perlindungan lingkungan hidup, serta mitigasi perubahan iklim. Kehadiran taksonomi berkelanjutan diyakini akan mendukung perumusan strategi dan inovasi lintas regulator. Dengan bahasa yang sama, harmonisasi bauran kebijakan keuangan hijau akan lebih mudah terealisasi. 

Tidak hanya di dalam negeri, dorongan kolaborasi juga digelorakan di tingkat kawasan. Terkini, otoritas keuangan se-Asia Tenggara baru saja meluncurkan taksonomi ASEAN versi kedua pada 27 Maret 2023. Poin menariknya ialah taksonomi terbaru ini merupakan taksonomi pertama di dunia yang mengakui aktivitas transisi energi sebagai aktivitas yang layak mendapatkan pendanaan hijau.

Dalam praktiknya, keberadaan taksonomi ASEAN ini memiliki tiga arti penting. Pertama, memberikan panduan bagi negara ASEAN untuk mengembangkan taksonomi domestik. Kedua, sebagai platform bersama negara ASEAN dalam mendorong pembiayaan perubahan iklim di regional. Ketiga, untuk meningkatkan interoperabilitas dengan taksonomi lain yang telah hadir lebih dulu, misalnya Uni Eropa dan Tiongkok.

Dengan derap langkah yang semakin sinergis di tataran nasional dan internasional, kita patut optimis transisi keuangan hijau yang teratur, adil dan terjangkau dapat terwujud.

Konsekuensi logisnya, stabilitas sistem keuangan Indonesia niscaya tetap terjaga sehingga mampu menjinakkan ‘badak abu-abu’ bernama krisis perubahan iklim.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Remon Samora
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper