Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PR Besar RI Sebagai Negara Menengah Ke Atas: Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi!

Pertumbuhan ekonomi nasional perlu diakselerasi guna menghindari jebakan negara berpendapatan menengah. PR besar bagi Indonesia.
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Gedung bertingkat di jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan. JIBI/Feni Freycinetia
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Gedung bertingkat di jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan. JIBI/Feni Freycinetia

Bisnis.com, JAKARTA – Pertumbuhan ekonomi nasional perlu diakselerasi guna menghindari jebakan negara berpendapatan menengah. Hal ini menjadi pekerjaa rumah besar bagi Indonesia yang baru saja dinobatkan Bank Dunia menjadi negara berpendapatan menengah ke atas.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia berhasil menyentuh level US$4.783,9. Negara dengan kategori upper middle income memiliki rentang pendapatan antara US$4.466—US$13.845 per kapita.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan Indonesia setidaknya harus mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi dari 5% menjadi 6,5% untuk naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah ke atas.

“Sesuai dengan target Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Ekonomi Indonesia harus tumbuh 6,5% untuk bisa lolos ke high income dan keluar dari middle income trap yang ditargetkan pada 2045,” kata Faisal kepada Bisnis.com, baru-baru ini.

Untuk merealisasikan target tersebut, Faisal menilai pemerintah dan dunia usaha perlu secara presisi memastikan upaya hilirisasi benar-benar menjadi faktor yang mempercepat proses transformasi ekonomi Tanah Air.

Dalam hal ini, peran pelaku usaha disebut sangat besar untuk menarik investasi ke sektor industri, baik yang datang dari penanaman modal asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN).

“Untungnya, fungsi dari kebijakan fiskal APBN sudah mengarahkan pelaku usaha agar bisa melakukan ekspansi dan mau berinvestasi,” ujarnya.

Dari sisi pelaku usaha, posisi Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas dinilai masih sangat labil, dan rentan untuk kembali menjadi negara berpendapatan menengah ke bawah.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani, faktor seperti sistem jaring pengaman sosial yang dibebani masalah overload penerima manfaat berpotensi kembali menurunkan posisi Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke bawah.

“Sebab, PDB per kapita Indonesia masih terlalu dekat dengan batas bawah kategori upper middle country. Akan semakin bermasalah ketika tidak ada bonus demografi dan Indonesia tidak punya true middle class yang mendominasi struktur pasar nasional,” kata Shinta..

Pada saat terjadi kontraksi ekonomi, baik di level global maupun nasional, Indonesia justru berisiko fall back ke kategori pendapatan menengah ke bawah dengan tingkat kemiskinan yang relatif tinggi, dan diperlukan waktu cukup lama untuk dapat kembali ke posisi saat ini.

Indonesia juga dinilai harus berpacu dengan waktu untuk menjadi negara maju seiring dengan berakhirnya periode bonus demografi yang diperkirakan terjadi pada 2035. Apabila gagal, Shinta mengatakan Indonesia berisiko terjebak sebagai negara middle income trap.

Sebaliknya, dengan asumsi tidak terjadi kondisi kahar seperti krisis ekonomi 1998 atau pandemi Covid-19, dan struktur tenaga kerja nasional didominasi lulusan perguruan tinggi, maka Indonesia diproyeksikan mampu keluar dari middle income trap pada 2036.

“Setelahnya, kita tidak punya mesin yang cukup baik untuk mendorong peningkatan produktifitas Indonesia dalam merealisasikan pertumbuhan PDB setara dengan negara maju, atau 3 kali lipat dari produktifitas saat ini,” ujarnya.

Risikonya, terjadi deindustrialisi apabila perusahaan dipaksa mempekerjakan tenaga kerja yang tidak sesuai dengan kualifikasi. Atau, dunia industri di Tanah Air akan dibanjiri oleh pekerja-pekerja impor.

Dengan demikian, Indonesia berpotensi tidak memiliki daya tahan yang cukup ampuh untuk berjibaku menjadi negara maju dan rentan ketika ketika terjadi guncangan krisis ekonomi.

Shinta pun menilai ada beberapa pekerjaan rumah yang mesti segera diselesaikan. Mulai dari reformasi struktural guna meningkatkan efisiensi dan daya saing iklim usaha demi memastikan volume inbound investasi ke sektor riil nasional menjadi lebih besar terhadap PDB.

Idealnya, rasio inbound investasi asing (foreign direct investment/FDI) terhadap PDB Tanah Air berada di kisaran 5% – 10% untuk bisa bersaing dengan negara-negara lain di kawasan Asean.

Selain itu, reformasi skills structure tenaga kerja dalam 10 tahun ke depan mesti dipercepat guna meminimalisir ketidaksesuaian antara kemampuan dan kebutuhan dunia industri.

Beberapa hal lain seperti upaya reformasi struktural untuk industrialisasi, insentif bagi sektor manufaktur yang lebih canggih, peningkatan integrasi  jasa dengan industri, diversifikasi dagang, hingga peningkatan daya saing produk dalam negeri masih jadi PR yang harus diselesaikan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Rahmad Fauzan
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper