Bisnis.com, JAKARTA - Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) memastikan jika petani sawit saat ini justru lebih siap dibanding pengusaha dalam menghadapi implementasi Undang-Undang Antideforestrasi Eropa atau European Union Deforestation-Free Regulations (EUDR).
Pasalnya, dari sekitar 2.450 perusahaan sawit, hanya 21,22 persen yang baru membangun kemitraan dengan masyarakat sekitar atau plasma.
Sekjen SPKS Mansuetus Darto mengatakan dengan kondisi tersebut, artinya perusahaan sawit tidak memenuhi prinsip ketelusuran (traceability) dalam EUDR terhadap rantai pasok sawit.
Mengenai plasma, hal itu diatur dalam Permentan No 26 Tahun 2007 pasal 11 tentang kewajiban membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan.
“Artinya mungkin hampir 2.000 perusahaan yang tidak bangun 20 persennya. Dan itu menunjukkan bahwa kontribusi dari perusahaan sawit untuk membangun 20 persen itu untuk membangun plasma, itu tidak terwujud. Perusahaan itu tidak comply dan tidak membantu masyarakat di sekitar,” ujar Darto kepada media di Jakarta, Selasa (18/7/2023).
Dia pun menyinggung konflik di Kalimantan Tengah baru-baru ini lantaran juga dipicu oleh kewajiban plasma yang tidak direalisasikan oleh perusahaan.
Baca Juga
Selain itu, menurut Darto perusahaan sawit pun harus menjamin harga yang adil terhadap petani sawit seperti yang diamanatkan EUDR.
“Kita tahu bahwa praktik-praktik perusahaan sawit itu kan memberi harga yang tidak fair. Kayak tadi tuh pakai alasan DMO, harga suka-suka. Dan tidak ada harga acuan yang dijadikan rujukan untuk petani sawit swadaya yang memang selama ini ditentukan oleh tengkulak. Kebijakan EU ini memberikan mandat agar perusahaan-perusahaan sawit, pelaku eksportir, yaitu harus bisa memberikan atau layanan harga yang adil buat petani sawit,” jelas Darto.
Akibat tidak membangun kemitraan itu, Darto mengatakan perusahaan sawit akan sulit memenuhi aspek traceability. Sebab, kata dia perusahaan selama ini ini juga tidak mampu melakukan pemetaan terhadap petani sawit yang ada, yang mensuplai buah sawitnya.
“Itu kadang mereka dari mana hasil buah yang mereka produksi itu. Kan asal dari lahan itu tidak jelas dari kebun deforestasi kah atau jadi kebun yang legal,” tutur dia.
Dia mengatakan, aspek traceability justru akan relatif mudah dipenuhi oleh petani. Menurutnya, saat ini petani sudah melakukan eknologi pemetaan berbasis area atau poligon yang totalnya mencapai 60.000 poligon.
“Nah tinggal saja kalo pemerintah mau menggunakan itu bahwa petani itu sudah trace, sudah ada poligon, sudah ada titik koordinat segala macam, ambil aja. Tapi harus ada benefit untuk petani-petani itu. Harus ada kemitraan antara petani yang sudah traceability. sudah tahu jelas petak lahannya segala macem, harus diajak bermitra dan harus memberikan harga yang adil,” tutur Darto.
Selain itu, dia juga mengatakan lahan petani ebih rendah risiko dalam aspek deforestasi.
“Petani kecil yang kurang dari 25 hektar itu low risk. Dan juga titik Koordinatnya. Kan indikatornya titik koordinat itu kurang dari 4 hektar harus ada titik koordinat saja. Kalau sudah lebih dari 4 hektar harus ada poligon. Kan itu dalam kebijakan EUDR,” jelas Darto.
Diketahui, Uni Eropa telah mengesahkan EUDR pada 19 April 2023 dan resmi berlaku 16 Mei 2023. Regulasi ini mengatur perdagangan komoditas bebas deforestasi.
Dalam kebijakan anyar tersebut, eksportir boleh menjual produknya apabila telah melewati uji tuntas, guna memastikan produk tak berasal dari lahan yang mengalami degradasi atau deforestasi.
Produk yang disasar dalam aturan ini, antara lain sapi, kakao, kopi, minyak kelapa sawit, kedelai dan kayu, termasuk produk yang mengandung, diberi makan atau dibuat dengan menggunakan komoditas ini (seperti kulit, coklat dan furnitur).
Parlemen Uni Eropa juga menambahkan produk-produk, seperti karet, arang, produk kertas cetak, dan sejumlah turunan minyak sawit.