Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga pemeringkat Standard and Poor's (S&P) mempertahankan Sovereign Credit Rating Indonesia pada BBB dengan outlook stabil pada 4 Juli 2023.
Keputusan tersebut mempertimbangkan prospek pertumbuhan ekonomi yang solid, rekam jejak kebijakan yang baik, dan konsolidasi fiskal yang lebih cepat dari target awal.
Outlook stabil yang dipertahankan juga mencerminkan keyakinan S&P terhadap keberlanjutan pemulihan ekonomi Indonesia untuk dua tahun ke depan, yang akan mendukung kinerja fiskal dan stabilisasi utang.
Dalam hal ini, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan bahwa afirmasi rating Indonesia menunjukkan keyakinan kuat pemangku kepentingan internasional atas stabilitas makroekonomi dan prospek ekonomi jangka menengah Indonesia yang tetap terjaga di tengah peningkatan risiko global.
Kepercayaan dunia internasional ini, kata Perry, didukung oleh kredibilitas kebijakan yang tinggi dan sinergi bauran kebijakan yang kuat antara pemerintah dan BI.
“BI akan terus mencermati perkembangan ekonomi dan keuangan global dan domestik, merumuskan, dan melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, termasuk penyesuaian lebih lanjut stance kebijakan, serta terus memperkuat sinergi dengan pemerintah untuk mendukung tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” katanya dalam siaran pers, Rabu (5/6/2023).
Baca Juga
Adapun, S&P memperkirakan penurunan tekanan inflasi yang disertai dengan kenaikan belanja pemerintah menjelang pemilu dapat mendorong peningkatan konsumsi swasta pada semester kedua 2023.
Hal ini akan mendukung kinerja ekonomi Indonesia di tengah tantangan permintaan global yang melambat, sehingga ekonomi Indonesia pada 2023 diperkirakan akan tumbuh sebesar 4,8 persen.
S&P juga berkeyakinan bahwa reformasi kebijakan yang terus berlanjut dengan dukungan struktur demografi yang menguntungkan akan berdampak positif pada ekonomi Indonesia, yang turut diperkuat dengan penerapan UU Cipta Kerja.
Dari sisi eksternal, S&P memandang perbaikan kinerja sektor eksternal Indonesia mampu menahan dampak perlambatan harga komoditas. Implementasi kebijakan hilirisasi dan peningkatan kapasitas pemrosesan di sektor pertambangan dalam rangka peningkatan nilai tambah produk tambang dinilai dapat membantu meningkatkan penerimaan ekspor.
S&P juga berpandangan positif terhadap level cadangan devisa yang kembali meningkat, setelah sempat menurun pada paruh kedua 2022, didukung oleh surplus neraca transaksi berjalan dan aliran masuk modal asing.
Lebih lanjut, S&P memperkirakan defisit fiskal pada 2023 akan kembali turun menjadi sekitar 2,3 persen dari PDB, didukung oleh penerimaan yang lebih tinggi dan belanja pemerintah yang terkendali.
Defisit fiskal yang menurun tersebut diyakini akan mengurangi utang pemerintah dan beban bunga. Namun, basis penerimaan pemerintah yang masih terbatas dipandang tetap menjadi tantangan bagi perkembangan rating Indonesia ke depan.
S&P juga menyoroti peran yang signifikan dari BI dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan meredam dampak gejolak ekonomi dan keuangan terhadap ekonomi domestik.
Selain itu, dukungan BI dalam pembiayaan defisit fiskal melalui pembelian surat berharga pemerintah dinilai dapat membantu pemerintah mengelola beban bunga ketika pasar keuangan sedang mengalami tekanan. BI juga dinilai semakin mengandalkan instrumen berbasis pasar untuk menerapkan kebijakan moneter.