Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memastikan salah satu perusahaan pelat merah akan memasuki perdagangan karbon pada September 2023.
Wakil Menteri BUMN 1, Pahala Nugraha Mansury, tak memungkiri terdapat proses rumit untuk mewujudkan pasar perdagangan karbon, mulai dari baseline produksi emisi, penyebab penurunan emisi, validasi dan verifikasi, hingga karbon kredit yang diregistrasikan kepada National Registry.
"Target kita sebelum September sudah akan ada salah satu BUMN kita yang melakukan carbon trading yang difasilitasi oleh BEI dengan panduan regulasi dari KLHK dan juga oleh OJK," kata Pahala kepada wartawan, Senin (3/7/2023).
Dia menjelaskan, pihaknya telah memberi arahan kepada 8 BUMN yang merupakan penghasil emisi terbesar untuk menyusun roadmap pengurangan emisi yang sesuai dengan Nationally Determined Contribution (NDC).
Selain 8 BUMN, Pahala berharap Perhutani (Perusahaan Umum Kehutanan Negara) dan PT Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) atau BKI dapat berperan sebagai penghubung BUMN dengan pasar karbon yang dapat membantu melakukan verifikasi dan validasi karbon yang dihasilkan perusahaan.
"Masing-masing sektor punya NDC, migas seperti apa, salah satu yang sudah punya target NDC paling jelas di sektor kelistrikan, terutama di sektor pembangkit memang sudah memiliki target berapa jumlah emisi yang harus diturunkan sampai 2030," ujarnya.
Baca Juga
Di samping itu, dia menerangkan bahwa pasar karbon memiliki rumus accounting baru yang lebih rumit dari perhitungan komoditas lainnya. Jika dalam perdagangan umumnya memiliki ukuran dan bukti transaksi yang jelas, sedangkan untuk carbon accounting cukup sulit untuk membuktikannya.
Untuk itu, berdasarkan arahan Erick Thohir melalui surat edaran terkait arahan kepada BUMN untuk menurunkan emisi karbon sesuai dengan sistem perhitungan karbon yang sudah diterapkan secara global.
"Carbon trading itu ada target, kalau kamu di bawah target berarti enggak perlu bayar pajak, tapi kalau di atas, pertama kamu bisa membeli dulu karbon, kalau sudah dibeli lalu belum dicapai juga baru ada carbon tax [pajak], tapi ini kan hitungannya rumit," jelasnya.
Lebih lanjut, Pahala menjelaskan keinginan pemerintah untuk memperdagangkan emisi karbon melalui pasar terorganisir, dalam hal ini pemerintah menujuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator agar pasar karbon Indonesia dapat diperdagangkan secara internasional.
"Jadi keterkaitan antara Nasional Registry Carbon dengan pasar karbon yang terorganisir ini sangat penting sekali, karena hanya orang yang sudah terdaftar di National Registry Carbon yang bisa berdagang di pasar karbon," ujarnya.
Dalam hal ini, Pahala yang juga menjabat sebagai President of CFA Society Indonesia, sebuah perkumpulan nonlaba profesi investasi, akan menggelar konferensi bertajuk "Indonesia's Transition towards Net Zero" yang diselenggarakan pada 6 Juli 2023.
Agenda tersebut dilakukan untuk mengupas berbagai peluang dan potensi Indonesia dalam melakukan transisi menuju net zero emission (NZE) melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta.
Sebagaimana diketahui, Indonesia saat ini dalam masa transisi menuju target pengurangan emisi Green House Gas (GHG) sebesar 29 persen tanpa syarat dan sebesar 41 persen dengan syarat. Dengan target maksimal mencapai nol emisi karbon pada tahun 2060.
Pahala menjelaskan, ada 3 topik yang akan didiskusikan dalam konferensi tersebut yang mencakup, peran public/private sector untuk mencapai NZE, masa depan bursa karbon Indonesia, dan peran investor dalam transisi net zero.
Adapun, dalam konferensi tersebut nantinya akan mengundang berbagai stakeholder mulai dari PLN, PT Pertamina Power Indonesia, Xurya Daya Indonesia, PwC Legal Indonesia, Kemenko Marves Bidang Carbon Trading, PT BNP Paribas Asset Management, PT Mandiri Manajemen Investasi, dan lainnya.