Bisnis.com, JAKARTA — Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) memproyeksikan potensi ekonomi kurban Indonesia tahun 2023 ini sebesar Rp24,5 triliun yang berasal dari 2,08 juta pekurban (shahibul qurban).
Proyeksi tersebut menurun tipis dari tahun lalu yang diestimasikan mencapai Rp24,3 triliun dari 2,17 juta orang pekurban. Artinya, ada penurunan sekitar Rp200 Miliar pada tahun 2023 ini.
Direktur Ideas Yusuf Wibisono menjelaskan meski pandemi kini telah berakhir dan mobilitas masyarakat telah sepenuhnya normal, namun resesi global telah melemahkan kembali pemulihan ekonomi pasca pandemi.
“Melemahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan harga pangan dan energi, yang antara lain terlihat dari rendahnya inflasi saat Ramadhan dan Idul Fitri tahun ini yang baru saja berlalu, menyebabkan kami mengambil estimasi kurban yang konservatif,” kata dia dalam keterangan tertulisnya pada Jum’at, (23/7/2023).
Dari 2,08 juta keluarga muslim berdaya beli tinggi yang berpotensi menjadi shahibul qurban ini, kebutuhan hewan kurban terbesar adalah kambing-domba sekitar 1,23 juta ekor, sedangkan sapi-kerbau sekitar 505.000 ekor.
“Dengan asumsi berat kambing-domba antara 20-80 kg dengan berat karkas 41 persen serta berat sapi-kerbau antara 250-750 kg dengan berat karkas 57 persen, maka potensi ekonomi kurban 2023 dari sekitar 1,74 juta hewan ternak ini setara dengan 103,0 ribu ton daging,” tutur Yusuf.
Baca Juga
Indonesia sejak lama mengalami kesenjangan konsumsi makanan yang lebar, yang berakar dari kesenjangan pendapatan. Kesenjangan dalam konsumsi makanan terlihat jelas pada jenis makanan penting yang harganya mahal sehingga tidak mampu dijangkau masyarakat kelas bawah, seperti daging.
“Pada 2022, rata-rata penduduk di persentil tertinggi [1 persen kelas terkaya] mengkonsumsi 5,31 kg daging kambing dan sapi per kapita per tahun, 294 kali lebih tinggi dari rata-rata penduduk di persentil terendah [1 persen kelas termiskin] yang hanya mengkonsumsi 0,02 kg daging per kapita per tahun,” ungkap Yusuf.
Dengan dampak resesi global yang kini semakin terasa dan lebih keras menghantam kelompok miskin, kesenjangan konsumsi daging cenderung akan semakin memburuk. Maka kehadiran kurban di tengah resesi global menjadi sangat berarti bagi si miskin.
“Kurban berpotensi berpotensi besar memperbaiki akses kelompok miskin pada pangan penting yang harganya mahal ini. Akses yang lebih merata akan menurunkan tingkat ketimpangan konsumsi daging,” ujar Yusuf.
Yusuf menambahkan, besarnya potensi kurban di satu sisi dan rendahnya konsumsi daging masyarakat, terdapat peluang besar untuk menurunkan ketimpangan konsumsi daging yang sangat tinggi antara kelas bawah dan kelas atas. Hal ini dapat terjadi ketika kita memfokuskan pendistribusian daging kurban pada kelompok masyarakat dengan konsumsi daging terendah.
“Pada 2022, kami mengidentifikasi setidaknya terdapat 74,2 juta orang mustahik yang merupakan kelompok dengan konsumsi daging terendah, karenanya paling berhak menerima daging kurban,” ucap Yusuf.
Mustahik prioritas yang paling tepat menerima daging kurban tersebut terdiri dari 5,2 juta mustahik miskin ekstrem (dibawah 0,8 garis kemiskinan/GK), 11,4 juta mustahik miskin (0,8 – 1,0 GK), 16,5 juta mustahik hampir miskin (1,0-1,2 GK) dan 41,1 juta mustahik rentan miskin (1,2-1,6 GK).
Menurut Yusuf, Jika kita dapat melakukan pentargetan secara sempurna kepada 74,2 juta mustahik prioritas, dimana mustahik dengan kelas ekonomi lebih rendah mendapatkan alokasi daging kurban yang lebih banyak, maka kesenjangan konsumsi daging berpotensi kuat dapat diturunkan secara signifikan.
“Simulasi kami menunjukkan, jika dapat dilakukan rekayasa sosial dalam pendistribusian daging kurban, yang mengizinkan pentargetan secara sempurna kepada 74,2 juta mustahik prioritas, maka kesenjangan konsumsi daging yang diukur dalam gini rasio berpotensi turun signifikan, dari 0,61 menjadi 0,38,” tutup Yusuf.