Bisnis.com, JAKARTA - Serikat buruh akan melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Mahkamah Konstitusi (MK) dan Istana Negara pada Rabu (21/6/2023). Aksi ini dilakukan dalam rangka menolak Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan) dan pengawalan terhadap sidang ketiga uji formil omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menjelaskan, agenda persidangan uji formil UU Cipta Kerja kali ini adalah mendengar keterangan presiden atau pemerintah dan pimpinan DPR RI.
“Kami berharap Presiden dan pimpinan DPR RI hadir dalam persidangan uji formil ini. Menjelaskan secara langsung kepada rakyat Indonesia melalui persidangan di Mahkamah Konstitusi terkait dengan undang-udang yang telah merugikan kaum buruh, petani, dan elemen masyarakat kecil yang lain,” ujar Said Iqbal melalui keterangan tertulis, Selasa (20/6/2023).
Selain mendesak agar UU Cipta Kerja dicabut, dalam aksi ini para buruh juga menolak RUU Kesehatan.
Menurut Said Iqbal, RUU Kesehatan berpotensi menyebabkan komersialisasi terhadap layanan kesehatan, di nana RUU ini mengatur mengenai urun biaya. Jadi ada beberapa penyakit yang biayanya tidak sepenuhnya ditanggung BPJS Kesehatan, yang tentunya akan memberatkan pasien. RUU Kesehatan hanya melindungi rumah sakit dan membuka ruang komersialisasi medis.
“Hal lain yang dipersoalkan dari RUU Kesehatan adalah menempatkan BPJS di bawah kementerian. Padahal seharusnya, jaminan sosial langsung di bawah presiden karena dana BPJS adalah uang buruh dan rakyat, bukan dana APBN yang bisa dikelola kementerian,” ujarnya.
Baca Juga
Seruan agar Permenaker No 5 Tahun 2023 dicabut juga akan disuarakan dalam aksi ini. Protes terhadap Permenaker tersebut terkait dengan upah buruh yang dipotong 25 persen dan PHK yang terus terjadi.
"Jadi keberadaan Permenaker No 5 Tahun 2023 ibaratnya salah obat," ujar Said Iqbal.
Berdasarkan data KSPI, beberapa perusahaan melakukan PHK besar-besaran, seperti PT Nikomas Gemilang ter-PHK 3261 orang, PWI 1.000 orang dan dalam proses PHK kurang lebih 3.000 orang. Kemudian, Panarub sudah melakukan PHK 2.000 orang dan PT Lawe di Bandung melakukan PHK 1.800 orang, serta masih ada berbagai perusahaan lain.
Tuntutan lain yang akan disuarakan adalah menuntut RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) segera disahkan mengingat RUU ini sudah 19 tahun.
Masih terkait isu perburuhan, hal terakhir yang akan disuarakan oleh para buruh adalah penolakan outsourcing dan tuntutan untuk menghapus upah murah.
Menurut Said Iqbal, outsourcing adalah perbudakan modern. "Outsourcing atau dalam bahasa lainnya kami menyebut precarious work atau sebagian di internasional menyebut casual work, itu memang ditentang karena ini adalah modern slavery atau perbudakan modern."
Iqbal menjelaskan konsep outsourcing merugikan buruh karena bekerja kepada perusahaan melalui perantara agen. Salah satu petaka datang ketika buruh terkena pemutusan hubungan kerja. Iqbal mengatakan, buruh akan ditolak kedua pihak, baik perusahaan maupun agen, saat menuntut hak mendapatkan pesangon.
"Buruh itu manusia, bukan robot. Dia juga ingin masa depan, harus dilindungi. Bagaimana Anda bisa melindungi kalau bekerja di satu perusahaan, tapi nggak punya hubungan kerja dengan perusahaan itu, yang ada hanya agen outsourcing. Nah, agen outsourcing hanya menerima fee sehingga nggak mau bayar pesangon. Apa bedanya dengan perbudakan?" ujarnya.
Selaras dengan penolakan terhadap outsourcing, buruh juga menolak upah murah. Said Iqbal menuturkan, upah murah membuat buruh tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya yang mengakibatkan mereka terjebak pada kemiskinan struktural.