Bisnis.com, JAKARTA - Peneliti dari Universitas Indonesia menyebut ketergantungan impor berisiko membuat pemerintah sulit untuk memperkuat ketahanan pangan di tengah lemahnya sektor industri.
Kedaulatan pangan yang sedang diupayakan pemerintah belum ditopang secara maksimal oleh industri manufaktur, baik dalam penyediaan pupuk, pengendalian hama, pakan ternak, alat mesin pertanian, serta mesin untuk industri makanan-minuman. Lemahnya peran industri pengolahan tercermin dari masih tingginya ketergantungan impor untuk benih, pupuk, obat maupun pakan ternak yang merupakan bahan baku krusial untuk sektor pertanian.
Demikian kesimpulan riset yang diadakan oleh Nagara Institute bertajuk “Kedalautan Pangan, Kedalauatan Bangsa: Tantangan dan Arah Kebijakan Pangan untuk Indonesia Emas, di Jakarta Kamis (15/6/2023).
Tim Riset Nagara Institute yang juga Peneliti LPEM-FEB Universitas Indonesia Muhammad Dian Revindo mencontohkan pada tahun 2021 bahkan terjadi peningkatan impor pupuk hingga mencapai 30 persen. Ketergantungan ini disebabkan kapasitas produksi pupuk yang tidak memadi untuk mengimbangi pesatnya kenaikan kebutuhan.
Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Pupuk Indonesia (2022), produksi pupuk domestik cenderung stagnan pada kisaran 12,2–12,5 juta ton selama enam tahun terakhir.
“Selain impor pupuk, Indonesia juga masih bergantung pada impor bahan baku pupuk kimia dan pakan ternak,” ujar Revindo dalam paparannya.
Baca Juga
Karena itu, menurut dia, diperlukan komitmen serius dan jangka panjang untuk membangun industri kimia hulu sebagai bahan baku pupuk seperti kalium, potasium, dan fosfat, penambahan kapasitas produksi pupuk nasional untuk kebutuhan non-perkebunan, serta pengembangan penggunaan pupuk organik untuk mengurangi beban pupuk kimia. Insentif fiskal dan non fiskal untuk investasi perlu lebih banyak mengakomodir pengembangan industri dalam sektor ini.
Selain itu, pertanian dan pangan domestik juga masih terkendala oleh tingginya ketergantungan pada alat mesin pertanian (alsintan) dan pengolahan hasil produk pertanian impor.
Hingga saat ini, tegas Revindo, produksi domestik baru mampu memenuhi kurang dari 50 persen kebutuhan mesin penggilingan padi, traktor tangan, mesin pengolah tanah, mesin panen, pengering, perontok multiguna, pemotong rumput, penghancur jerami dan alat lainnya, belum termasuk mesin produksi pangan.
“Ketergantungan ini perlu dikurangi secara bertahap dengan prioritisasi alsintan domestik dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah dan alokasi dana riset untuk pengembangan alsintan yang sesuai untuk kebutuhan daerah,” ungkap Revindo.
Lebih lanjut, Revindo menuturkan bahwa komitmen negara terhadap sektor pangan selayaknya tercermin juga pada penganggaran.
Dibandingkan satu dekade yang lalu, anggaran subsidi pupuk tidak meningkat secara signifikan. Bahkan sejak 2019 ke 2023 subsidi pupuk menurun dari Rp34,3 triliun menjadi hanya Rp24 triliun. “Jumlah tersebut sangat tidak memadai jika dibandingkan luas lahan dan kebutuhan pupuk di Indonesia.”
Pada 2019 dan 2020 misalnya, besaran subsidi yang ada diperkirakan hanya mampu memenuhi sekitar 37 persen-51 persen dari total kebutuhan pupuk.
Karena itu, komitmen pemerintah juga perlu tercermin dari anggaran untuk cadangan pangan baik dalam hal jumlah maupun jenis komoditas yang sebagian besar masih didominasi oleh beras.
Di tingkat daerah anggaran ketahanan pangan hanya termasuk ke dalam discretionary spending tanpa ketentuan spesifik. Diperlukan alokasi anggaran yang mampu meningkatkan cadangan pangan pemerintah mencapai 6 persen untuk menangkal lonjakan harga pangan dan aksi spekulan pasar.
Menurut Nagara Institute, terdapat salah satu terobosan pemerintah yang berpotensi untuk berkontribusi untuk penguatan pertanian dan pangan, yaitu dana desa. Pada 2021, penyaluran dana desa mencapai Rp75,3 triliun, atau setara dengan kontribusi hingga 60 persen dari pendapatan pemerintahan desa di seluruh Indonesia.
Adanya dana desa tersebut, demikian Nagara Institute, mestinya memberikan ruang bagi pemerintah desa untuk mewujudkan ketahanan pangan dari tingkat paling dasar.
“Akan tetapi pada realitasnya penggunaan dana desa lebih banyak digunakan untuk pembangunan infrastruktur di pedesaan (irigasi dan jalan) dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa secara umum. Diperlukan pengaturan alokasi spesifik dari dana desa yang dapat memperkuat ketahanan pangan,” jelas Revindo.