Bisnis.com, JAKARTA - Visi Indonesia emas pada 2045 merupakan wujud keinginan Indonesia untuk masuk ke dalam kelompok negara berpendapatan tinggi sehingga tercapai tingkat kesejahteraan yang lebih baik dan merata serta mampu menjadi bagian dari lima besar kekuatan ekonomi dunia.
Produk Domestik Bruto (PDB) diharapkan mencapai sekitar US$9,8 trilliun dengan PDB per kapita sebesar US$30.000.
Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo kembali menegaskan pentingnya penghiliran industri sebagai upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju. Senada hal itu, pemerintah mengumumkan larangan ekspor bijih bauksit mulai 11 Juni 2023 guna mendorong industri pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri.
Pemerintah berpendapat larangan bijih bauksit ini akan mempercepat penghiliran industri bauksit di dalam negeri.
Estimasinya akan bisa mendongkrak nilai tambah bijih bauksit hingga US$1,9 miliar dengan manfaat sebesar US$1,5 miliar dan penciptaan lapangan kerja sekitar 7.627 orang di dalam negeri.
Larangan ekspor bauksit yang mengacu pada UU No. 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), sebaiknya ditunda beberapa waktu dengan alasan berikut. Pertama, kebijakan larangan ekspor bauksit akan berdampak menghilangkan penerimaan negara dari bea keluar dan royalti bauksit sebesar Rp1,83 trilliun jika mengacu pada penerimaan negara tahun 2022.
Baca Juga
Kedua, jika produksi bauksit Indonesia diperkirakan 25 juta ton per tahun, sementara kapasitas smelter saat ini hanya bisa menyerap 13,25 juta ton per tahun maka dimungkinkan ada potensi produksi bauksit Indonesia tidak terserap sebesar 11,75 juta ton per tahun.
Ketiga, akibat tidak terserapnya bauksit tersebut maka harga jual bauksit dalam negeri pun diperkirakan akan lebih rendah daripada pasar dunia sehingga mendorong terjadinya penyeludupan bauksit ke luar negeri.
Keempat, urgensi larangan ekspor bauksit perlu dilakukan bertahap seperti pemberian insentif pengolahan bauksit, pemberian bea ekspor alumina mapupun produk hasil olahan bauksit lainnya, kemudian baru melarang ekspor bauksit mentah.
Selanjutnya, kebijakan larangan ekspor bauksit bukan garansi untuk menyukseskan penghiliran industri bauksit. Namun, yang terpenting adalah mempersiapkan kelengkapan rantai pasok (supply chain) bauksit dari industri hulu ke industri hilir.
Pertama, jika kita melihat dari industri hulu maka hal yang sebaiknya dilakukan adalah memperbaiki tata kelola penambangan bauksit yang berkelanjutan karena masih ditemukannya pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas.
Kedua, menghubungkan perusahaan penambang bauksit dengan perusahaan smelter di dalam negeri, karena selama ini perusahaan penambang bauksit tidak menguasai teknologi dan kurangnya ketrampilan untuk mengolah bauksit menjadi alumina maupun primary alumunium.
Ketiga, saat ini jumlah perusahaan smelter di Indonesia terbatas dengan kapasitas mesin jauh dibawah produksi bauksitnya.
Sekitar 12 perusahaan smelter yang rencananya dibangun, tetapi 8 perusahaan smelter ternyata masih dalam tahap persiapan lahan.
Oleh karena itu, jika perusahaan penambang diharapkan untuk membangun smelter sendiri maka diperlukan pendanaan besar misalnya untuk membangun smelter dengan kapasitas input 3 juta ton bauksit dibutuhkan sekitar Rp 7,7 trilliun.
Pembiayaan tersebut tentunya harus diberikan alternatif sumber pendanaan yang murah sehingga bisa diakses semua perusahaan penambang lokal.
Penghiliran industri bauksit memerlukan langkah bertahap agar bisa berkelanjutan. Ketersediaan bahan baku harus selalu ada sehingga diharapkan perusahaan penambang lokal fokus menambang bauksit saja.
Kemudian, untuk perusahaan smelter sebaiknya pemerintah mendorong konsorsium perusahaan dalam negeri agar kapasitas perusahaan smelter yang eksisting meningkat sampai mencapai 12 juta ton per tahun sehingga dapat menyerap semua produksi bauksit di Indonesia dan mengolahnya menjadi alumina.
Kemudian perlu memberikan insentif fiskal maupun non fiskal untuk mendorong peningkatan investasi di industri hilir, tidak hanya industri alumunium, tetapi juga industri konstruksi, transportasi, persenjataan, elektronik dan industri lainnya yang membutuhkan bauksit sebagai bahan bakunya.
Langkah lainnya adalah membangun kawasan industri khusus yang dekat dengan sumber penambangan bauksit dan industri hilir serta terintegrasi dengan infrastruktur publik seperti jalan, pelabuhan laut, bandara, pembangkit listrik sehingga proses pengolahan bauksit dari hulu sampai hilir dapat dilakukan dan berkelanjutan.