Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah pakar dan pemerhati energi meminta pemerintah untuk berhati-hati terkait dengan upaya membuka kembali rencana investasi di blok migas Mansouri di Iran.
Pertemuan bilateral antara Presiden Joko Widodo atau Jokowi dengan Presiden Iran Seyyed Ebrahim Raisi pekan lalu menghasilkan 11 dokumen kesepakatan kerja sama. Selain target peningkatan volume perdagangan menjadi US$20 miliar, kedua negara juga sepakat untuk mencari jalan keluar atas investasi di sektor migas.
“Perhitungannya harus tepat, kita harus siap-siap kalau nanti kemudian Amerika Serikat [AS] benar-benar melakukan tindakan yang sifatnya tegas,” kata Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri saat dihubungi, Senin (29/5/2023).
Seperti diketahui, kedua negara sempat meneken nota kesepahaman atau MoU terkait dengan rencana investasi PT Pertamina (Persero) untuk mengelola Blok Mansouri pada 2016.
Selepas 2 tahun sejak penawaran lapangan, Pertamina telah menyiapkan anggaran US$1,5 miliar untuk pengelolaan Blok Mansouri selama kurun waktu 5 tahun. Hanya saja, rencana finalisasi akuisisi itu mesti ditunda seiring dengan sanksi ekonomi yang diberikan AS atas Iran pada pertengahan 2018.
Yose mengatakan, pemerintah perlu membangun komunikasi dengan AS apabila ingin melanjutkan MoU yang sempat tertunda tersebut. Manuver itu, kata Yose, mesti dilakukan untuk mengamankan rencana investasi Pertamina di tengah sanksi yang belum dicabut AS hingga saat ini.
Baca Juga
Apalagi, kata Yose, sanksi ekonomi itu relatif bakal berlaku dalam waktu lama lantaran daya tawar Iran yang terbilang rendah untuk kepentingan AS.
“Kita perlu membuka komunikasi juga dengan pihak AS karena kelihatannya belum ada upaya dengan pihak AS begitu, kita tidak mau membangunkan macan tidur kan ya,” kata dia.
Sementara itu, Pakar Ekonomi Energi dan Perminyakan Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan, dua blok migas yang sempat ditawarkan pemerintah Iran lewat National Iranian Oil Company (NIOC), Blok Mansouri dan Blok Ab-Teymour itu terbilang strategis untuk capaian lifting nasional.
“Potensi cadangan di kedua lapangan itu kan bisa mencapai 1,5 miliar barel minyak. Itu artinya, jumlah cadangan dari kedua lapangan itu saja kurang lebih sudah mendekati total cadangan terbukti minyak nasional kita,” kata Pri.
Selain itu, Pri menambahkan, kedua lapangan itu belum dieksploitasi lebih lanjut yang membuat kandungan sumber dayanya lebih besar dari beberapa sumur tua yang saat ini dikelola Pertamina.
Rencana akuisisi dua lapangan di Iran itu juga bakal ikut menambah aset prospektif dari Pertamina di portofolio internasional yang belakangan bertumbuh positif. Kendati pertumbuhan produksi dan lifting migas dari aset internasional masih berada di bawah kinerja di dalam negeri.
“Yang di dalam negeri sepertinya tumbuh lebih tinggi, di kisaran 3 persen sampai 7 persen bervariasi tergantung asetnya,” kata dia.
Di sisi lain, Pertamina masih menanti hasil pembahasan rencana investasi di lapangan Iran tersebut yang saat ini masih berlanjut pada level pejabat tingkat tinggi antar kedua negara.
“Bagi Pertamina tentu ini merupakan langkah yang sangat baik, khususnya apabila MoU sebelumnya bisa berlanjut karena nantinya bisa berdampak ke lifting kita,” kata Vice president Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fadjar Djoko Santoso saat dikonfirmasi, Senin (29/5/2023).
Bisnis telah meminta konfirmasi ihwal hasil perundingan lanjutan rencana akuisisi perusahaan migas pelat merah itu kepada Wakil Menteri BUMN I Pahala Mansury dan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji selepas pertemuan tingkat tinggi pekan lalu. Hanya saja permohonan konfirmasi tersebut tidak mendapat tanggapan hingga berita ini tayang.
Berdasarkan catatan Bisnis, total cadangan Lapangan Ab-Teymour dan Mansouri diperkirakan mencapai 5 miliar barel. Kedua lapangan tersebut dalam tahap produksi, yakni 48.000 barel per hari (bph) untuk Lapangan Ab-Teymour dan 54.000 bph untuk Lapangan Mansouri. Namun, perseroan hanya akan fokus pada Mansouri lebih dulu.