Bisnis.com, JAKARTA – Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasific atau APEC menilai tingginya biaya hidup akibat inflasi akan memengaruhi pemulihan ekonomi di kawasan, termasuk di Indonesia.
Berdasarkan laporan Analisis Tren Regional APEC, ekonomi di Asia Pasific diperkirakan tumbuh di level 2,8 persen pada 2024. Perkiraan ini melambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi 2023 yang diproyeksikan mencapai 3,1 persen.
Direktur Policy Support Unit APEC Carlos Kuriyama mengatakan ada sejumlah faktor yang menjadi penghambat pemulihan ekonomi di Asia Pasific pada tahun depan, salah satunya adalah persoalan tingginya biaya hidup.
“Biaya hidup yang lebih tinggi menghambat kemampuan kami untuk mendorong pemulihan ekonomi yang stabil pascapandemi,” tutur Kuriyama dalam pernyataan resmi yang dikutip dari laman resmi APEC, Minggu (28/5/2023).
Selain itu, dia mengatakan APEC melihat penyempitan ruang fiskal dan melonjaknya utang karena gelontoran stimulus besar-besaran yang ditempuh oleh negara anggota APEC selama pandemi Covid-19 melanda hampir seluruh negara di dunia.
“Tingkat pendapatan belum pulih ke tingkat prapandemi di sebagian besar ekonomi APEC, dan ketidaksetaraan telah meluas, yang paling parah memukul populasi yang paling rentan,” ujarnya.
Baca Juga
Laporan tersebut juga menyebutkan utang bruto pemerintah secara umum mencapai tingkat tertinggi pada 2022, atau melonjak menjadi 112 persen dari PDB untuk negara maju. Sementara itu, utang bruto mencapai 65 persen dari PDB untuk kawasan APEC.
APEC juga menyoroti gangguan penawaran dan permintaan karena efek gabungan dari masalah geopolitik. Tingkat inflasi di Asia Pasific tercatat sebesar 5,9 persen pada 2022, naik dari 2,9 persen tahun 2021 dan diproyeksikan moderat menjadi 4,4 persen tahun ini.
Sebagai catatan, APEC merupakan forum kerja sama ekonomi yang didirikan di Canberra, Australia pada November 1989. Saat ini, APEC memiliki 21 anggota, di antaranya Indonesia, Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Chili, China, Amerika Serikat, Malaysia, dan Meksiko.