Bisnis.com, JAKARTA - Sebanyak tujuh produsen minyak goreng dijatuhi sanksi denda total Rp71,28 miliar karena terbukti melanggar Pasal 19 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Ketujuh perusahaan tersebut adalah PT Asianagro Agungjaya, PT Batara Elok Semesta Terpadu, PT Incasi Raya, PT Salim Ivomas Pratama, Tbk., PT Budi Nabati Perkasa, PT Multimas Nabati Asahan (Wilmar Group), dan PT Sinar Alam Permai (Wilmar Group).
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan tujuh perusahaan tersebut secara sah dan meyakinkan terbukti melanggar Pasal 19 huruf c UU No.5/1999 pada periode Januari 2022 sampai dengan Mei 2022 dalam penjualan minyak goreng kemasan di Indonesia.
Dalam putusannya, Majelis Komisi menemukan bahwa para terlapor tidak patuh kepada kebijakan pemerintah terkait dengan harga eceran tertinggi (HET), yakni dengan melakukan penurunan volume produksi dan/atau volume penjualan selama periode pelanggaran.
"Tindakan tersebut dilakukan secara sengaja untuk memengaruhi kebijakan HET. Faktanya, pada saat kebijakan HET dicabut, serta merta pasokan minyak goreng kemasan kembali tersedia di pasar dengan harga yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harga sebelum terbitnya kebijakan HET," demikian temuan Majelis KPPU yang diketuai oleh Dinni Melanie, dikutip dari siaran pers, Sabtu (27/5/2023).
KPPU menyatakan ketidakpatuhan tersebut menimbulkan kelangkaan minyak goreng yang berakibat pada penurunan kesejahteraan (deadweight loss) masyarakat.
Baca Juga
KPPU menilai perilaku penurunan volume produksi dan/atau volume penjualan pada periode pelanggaran meskipun bahan baku tersedia, merupakan perilaku pelaku usaha yang tidak jujur dan menghambat persaingan usaha dalam melakukan kegiatan produksi dan/atau pemasaran minyak goreng kemasan.
"Sehingga Majelis Komisi menyimpulkan telah terjadi dampak pelanggaran Pasal 19 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999," tulis KPPU.
Namun demikian, KPPU memutuskan bahwa tujuh perusahaan tersebut dan 20 perusahaan terlapor lainnya tidak terbukti melanggar Pasal 5 UU No.5/1999 terkait penetapan harga.
Dalam putusannya, Majelis Komisi menjelaskan bahwa pasar bersangkutan dalam perkara a quo adalah penjualan minyak goreng kemasan dengan bahan baku kelapa sawit di seluruh wilayah Indonesia. Struktur pasar dalam industri minyak goreng disimpulkan sebagai oligopoli ketat dengan konsentrasi pasar tinggi (dengan konsentrasi rasio empat grup pelaku usaha sebesar 71,52 persen), memiliki produk yang homogen dan berbagai hambatan masuk pasar.
Hal itu memengaruhi perilaku pelaku usaha dan kinerja pasar termasuk potensi terjadinya penetapan harga minyak goreng yang diduga dilakukan oleh para terlapor.
Majelis Komisi menemukan bahwa berdasarkan rasio input dan output di sektor tersebut, pada periode pelanggaran lebih besar daripada rasio sebelum periode pelanggaran.
"Ini menunjukan bahwa kenaikan harga pada periode pelanggaran terjadi akibat adanya kenaikan harga input sehingga margin keuntungan yang diperoleh menjadi semakin kecil. Dengan demikian para terlapor dapat disimpulkan tidak melakukan penetapan harga untuk minyak goreng kemasan sederhana dan kemasan," kata KPPU.
Adapun, dalam putusan tersebut, PT Asianagro Agungjaya selaku terlapor I dihukum membayar denda Rp1 miliar, PT Batara Elok Semesta Terpadu selaku terlapor II dihukum dengan denda Rp15,25 miliar.
Selanjutnya, PT Incasi Raya selaku terlapor V dihukum denda senilai Rp1 miliar, PT Salim Ivomas Pratama Tbk. selaku terlapor XVIII dihukum denda Rp40,88 miliar.
PT Budi Nabati Perkasa sebagai terlapor XX dihukum denda Rp1,76 miliar dan PT Multimas Nabati Perkasa selaku terlapor XXIII didenda Rp8,02 miliar, sedangkan PT Sinar Alam Permai didenda Rp3,36 miliar.