Bisnis.com, JAKARTA – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan bahwa permasalahan negosiasi pagu utang Amerika Serikat (AS) di tengah ketidakpastian global yang masih tingg memberikan tekanan pada seluruh mata uang di dunia.
Perry menyampaikan, dalam proses negosiasi pagu utang AS tersebut, tingkat imbal hasil US Treasury cenderung meningkat sehingga mendorong penguatan indeks dolar AS.
Akibatnya, mata uang sebagian besar negara di dunia mengalami tekanan. Oleh karena itu, imbuh Perry, fokus kebijakan BI saat ini adalah memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah.
“Seluruh dunia mengalami dampak debt ceiling dengan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global. Nilai tukar dolar AS menguat terhadap seluruh mata uang dunia,” jelasnya.
Perry mengatakan, kebijakan penguatan stabilitas nilai tukar rupiah akan ditempuh dengan strategi triple intervention, yaitu intervensi melalui Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), pasar spot, dan pasar sekunder, juga melalui strategi twist operation.
“BI kan memiliki Rp1.400 triliun SBN, yang jangka pendek kami jual. Dengan jual yang jangka pendek, yield SBN naik, tanpa harus menyebabkan yield jangka panjang naik. Dengan yield jangka panjang naik, inflow masuk dan akan mendukung stabilisasi nilai tukar rupiah,” kata Perry.
Baca Juga
BI mencatat, aliran modal asing masih masuk ke pasar keuangan domestik, yaitu mencapai US$1,0 miliar hingga 23 Mei 2023.
Nilai tukar rupiah juga masih cenderung menguat pada kuartal II/2023. Nilai tukar rupiah hingga 24 Mei 2023 menguat sebesar 0,63 persen secara point to point dibandingkan dengan level akhir kuartal I/2023.
Secara year to date, Perry mengatakan nilai tukar rupiah juga menguat 4,48 persen dari level akhir Desember 2022.
Apresiasi tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan apresiasi Thailand sebesar 0,20 persen dan India sebesar 0,08 persen, serta Filipina yang terdepresiasi sebesar 0,10 persen.
“Ke depan, BI memperkirakan apresiasi rupiah berlanjut ditopang oleh surplus transaksi berjalan dan aliran masuk modal asing seiring prospek pertumbuhan ekonomi yang kuat, inflasi yang rendah, serta imbal hasil aset keuangan domestik yang menarik,” tutur Perry.