Bisnis.com, JAKARTA — PLN Energi Primer Indonesia (EPI) memproyeksikan kebutuhan batu bara perseroan untuk pembangkit listrik bakal mengalami koreksi signifikan setelah 2030.
Proyeksi itu didasari pada masifnya adopsi biomassa sebagai bahan bakar pendamping batu bara atau co-firing dan pemanfaatan gas sebagai sumber energi pembangkitan saat itu.
“Saat ini batu bara meningkat dan ke depan akan mengalami penurunan lewat co-firing sebanyak 10,2 juta ton pada 2025,” kata Sekretaris Perusahaan PLN EPI Mamit Setiawan saat workshop media, Bandung, dikutip Minggu (21/5/2023).
Secara bertahap, kata Mamit, pemanfaatan batu bara bakal mencapai puncaknya di level 153 juta ton pada 2030 mendatang. Proyeksi permintaan itu mayoritas berasal dari pengembang listrik swasta atau independent power producer (IPP) sebesar 101 juta ton dan sisanya dari pembangkit PLN 52 juta ton.
Proyeksi permintaan itu terbilang tinggi jika dibandingkan dengan perkiraan permintaan sepanjang tahun ini yang berada di angka 122 juta ton. Sementara pada 2025 atau dua tahun setelahnya, permintaan batu bara diperkirakan terkoreksi tajam ke level 124 juta ton menyusul masifnya program co-firing dan gasifikasi pembangkit.
“Proyeksi kami ke depan itu, gasifikasi dan pengembangan biomassa ini penting bagi EPI,” kata dia.
Baca Juga
Sementara itu, PLN EPI menargetkan kapasitas co-firing tetap tertahan pada keseimbangan baru di level tertinggi sebanyak 8,91 juta ton pada 2030 mendatang.
Seperti diberitakan sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menegaskan kementeriannya bakal mendorong pemanfaatan limbah biomassa yang lebih intensif untuk mengejar target paduan sebesar 10,20 juta ton pada 2025 mendatang.
Rencanannya, penerapan teknologi co-firing bakal diperluas menyasar pada 47 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) pada 2023. Adapun, teknologi co-firing sudah diterapkan untuk 36 PLTU hingga akhir 2022.
“Sejauh ini implementasi co-firing belum berpengaruh pada peningkatan biaya pokok penyediaan (BPP) karena biomassa yang digunakan rata-rata berbasis limbah seperti sekam padi, sawdust, woodchip, cangkang sawit, dan pelet sampah,” kata Dadan saat dihubungi, Jumat (30/12/2022).
Biasanya, nilai kalori biomassa lebih kecil dari batu bara yang membuat harga bahan baku berbasis limbah itu lebih kompetitif dibanding komoditas fosil tersebut. Adapun, otoritas energi dan sumber daya mineral menghitung kalori rata-rata biomassa berada di kisaran 3.500 kkal per kilogram dan batu bara berada di angka 4.200 kkal per kilogram.
“Maka penggunaan 10,20 juta ton biomassa nantinya bisa mengurangi pemakaian batu bara sebesar 8,5 juta ton,” kata dia.