Bisnis.com, BANDUNG — BPH Migas mendorong pemerintah untuk segera mengimplementasikan kebijakan bauran bahan bakar nabati (BBN) bioetanol 5 persen dengan bahan bakar minyak (BBM) RON 92 alias Pertamax tahun ini. Pemerintah juga diharapkan memberi kepastian harga pasar yang menarik bagi pengusaha.
Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman mengatakan implementasi program E5 itu diharapkan dapat menjadi sinyal positif bagi investasi serta pengembangan bahan baku bioetanol sebagai bahan bakar pendamping Pertamax. Khususnya di tengah momentum transisi energi yang makin jadi bola panas.
“Kalau sudah dimulai ini akan memberi sinyal kepada pengusaha untuk mengembangkan program ini,” kata Saleh dalam acara lokakarya media, dikutip Minggu (21/5/2023).
Masih menurut Saleh, pemerintah mesti memberi kepastian harga pasar yang menarik untuk program E5 kepada pengusaha di tengah kompetisi kebutuhan bahan baku yang cukup intens dengan industri gula di dalam negeri.
Konkretnya, dia menerangkan, pemerintah mesti mulai menghitung alokasi subsidi yang bisa diterima pengembang dari setiap selisih harga Pertamax dengan harga indeks pasar (HIP) BBN jenis bioetanol sebagai kepastian pengembalian investasi nantinya.
Kepastian pada sisi subsidi pasokan bioetanol itu diharapkan mirip dengan subsidi yang selama ini sudah lebih dahulu dialokasikan untuk program mandatori biodiesel lewat Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Seperti diketahui, BPDPKS telah menyiapkan anggaran sebesar Rp31 triliun untuk program bauran biodiesel 35 persen (B35) tahun ini.
“Kalau HIP-nya itu di atas harga Pertamax, itu lah pentingnya subsidi semacam biodiesel,” kata dia.
Berdasarkan data yang dihimpun BPH Migas, ketersediaan bahan baku bioetanol saat ini berada di kisaran 40.000 kiloliter (KL) yang potensial disalurkan untuk program E5.
Dia berharap implementasi program E5 dalam waktu dekat nanti ikut mempercepat pembentukan ekosistem industri bioetanol sebagai bahan baku pendamping BBM di dalam negeri.
“Terobosan-terobosan itu perlu diambil sekaligus untuk mengurangi gas rumah kaca sektor transportasi,” kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belakangan memutuskan untuk mencampurkan BBN bioetanol dengan Pertamax yang awalnya diarahkan untuk BBM RON 90 atau Pertalite.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengatakan, keputusan itu diambil lantaran harga pembentuk Pertamax yang berada di level yang sama dengan bioetanol.
“Kalau dicampur di Pertalite kan secara harga pantauan kita Pertalite kan, lebih murah ya, kan Pertalite itu harganya Rp10.000, kalau bioetanol itu di angka Rp12.000 sampai Rp13.000,” kata Dadan saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (20/2/2023).
Rencana awal pencampuran bioetanol dengan porsi 5 persen dengan Pertalite dinilai bakal ikut mengerek keekonomian bensin subsidi tersebut.
Sementara itu, Kementerian BUMN menargetkan implementasi program E5 dapat terlaksana pada paruh pertama tahun ini. Penyaluran perdana direncanakan berlangsung di pom bensin khusus di Kawasan Surabaya yang berdekatan dengan produsen bioetanol.
Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan, distribusi bioetanol membutuhkan proses logistik yang cenderung kompleks jika dibandingkan dengan bahan bakar berbasis fosil. Alasannya, bioetanol cepat busuk lantaran berasal dari batangan tebu.
“Bahan bakar ini tidak bisa terlalu jauh dari pom bensinnya atau lokasi pengisiannya karena itu bisa busuk,” kata Erick saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI, Senin (13/2/2023).