Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengusulkan penyesuaian harga pembelian gula atau harga pokok penjualan (HPP) di tingkat petani menjadi Rp15.000 per kilogram (kg), dari sebelumnya Rp11.500 per kg. Selain kenaikan biaya produksi, usulan itu juga disebabkan penurunan produksi tebu akibat El Nino.
Sekretaris Jenderal APTRI Nur Khabsyin mengatakan usulan kenaikan HPP itu telah mempertimbangkan biaya pokok produksi (BPP) gula dari sejumlah komponen yang mengalami kenaikan.
"Untuk HPP, APTRI mengusulkan Rp15.000 per kg. Wajar, jika HPP naik dikarenakan Biaya Pokok Produksi (BPP) gula juga naik, antara lain kenaikan biaya akibat pemakaian pupuk non subsidi, upah tenaga kerja, dan biaya transportasi," tutur dia dalam keterangan tertulis, Sabtu (13/5/2023).
Selain itu, penyesuaian harga di tingkat petani pun perlu dilakukan karena adanya penurunan produksi tebu.
"Saat ini, terjadi penurunan produksi tebu di kebun, dimana rata-rata penurunannya sekitar 20 persen. Jadi, misalkan satu hektare bisa keluar 100 ton sekarang tinggal menjadi 80 ton tebu. Penyebabnya antara lain adalah perubahan iklim akibat El-Nino,” katanya.
Belum lagi, permasalahan di pemupukan yang dinilai membuat aktivitas tanam jadi terkendala sehingga membuat penurunan produksi menjadi semakin sulit dihindari.
Baca Juga
"Produksi tebu terus menurun dikarenakan pemupukan yang tidak optimal, dimana pupuk semakin mahal dan langka. Sehingga, banyak petani yang memupuk tebu tidak tepat waktu. Selain itu, dosis pupuk ini tidak bisa maksimal," beber dia.
Nur Khabsyin mencontohkan, satu hektar kebun tebu idealnya membutuhkan rata-rata 1 ton hingga 1,3 ton pupuk. Namun, karena pupuk langka dan mahal, petani hanya bisa menyediakan 7 kwintal pupuk untuk 1 hektar. Harga pupuk non subsidi 4 kali lipat dari pupuk subsidi
Melihat kondisi-kondisi di atas, dia menilai kenaikan HPP sangatlah wajar.
"Kenaikan HPP sangat wajar dan pengaruh terhadap inflasi juga relatif kecil," tegasnya.
Keluhan soal pupuk juga disampaikan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional APTRI, Soemitro Samadikoen. Saat ini, petani tebu nyaris tidak menggunakan pupuk bersubsidi.
"Terlepas dari susah didapat, pemerintah juga sudah mengurangi porsi pupuk subsidi bagi petani tebu," tutur dia.
Harga Acuan Pemerintah
Selain HPP di tingkat petani, salah satu yang menjadi sorotan adalah harga acuan pemerintah (HAP) gula di tingkat pengecer.
Nur Khabsin menyebut HAP gula di tingkat eceran sebaiknya dihapuskan.
"HAP atau HET kami minta untuk dihapus, jadi tidak perlu lagi ada HAP atau HET dengan alasan gula petani ini bukan milik negara ya. Ini milik petani, jadi ini nggak perlu ada HAP atau HET biar harga itu sesuai dengan pasar, sehingga petani bisa menikmati keuntungan dan tidak terbelenggu dengan HAP atau HET. Ini usulan kami," tukasnya.
Menurutnya, komoditas gula yang sebagian besar diproduksi oleh petani dan industri tak banyak mendapat dukungan pemerintah sehingga harga jualnya pun tak perlu diintervensi. Ini berbeda dengan komoditas lainnya, seperti BBM dan pupuk subsidi yang biaya produksinya didukung atau disubsidi oleh pemerintah.
"Karena sekarang ini yang full milik negara adalah BBM, ada HET itu wajar. Kemudian pupuk subsidi, ada HET itu wajar juga. Tetapi, pupuk non subsisi ini tidak ada HET, dimana harga bebas jadi itu melonjak tajam ya," katanya.
Dia melanjutkan, saat pemerintah belum memberlakukan HET pada tahun 2015, harga gula di tengah masyarakat cenderung stabil dan terjangkau. Justru, secara historikal, harga gula melonjak tinggi pada tahun 2016 saat pertama kali kebijakan HET gula diterapkan.
"Sebelum 2016 tidak ada HET atau HAP, harga gula tidak melonjak. Bahkan, harganya mendekati HPP. Artinya, kalau ada kehawatiran HET atau HAP dihapuskan, kemudian harga gula akan melonjak tinggi, itu berlebihan," ujar dia.
Pendapat Nur Khabsin itu diamini oleh pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori.
Dengan proses produksi yang minim dari sentuhan pemerintah, sudah sewajarnya harga gula dilepas ke harga pasar. Bila tidak, maka pihak petani akan menjadi pihak yang paling dirugikan. Biaya produksi tinggi, akses terhadap pupuk subsidi dibatasi, namun harga jual hasil perkebunan maupun produk hilirnya dibatasi pemerintah.
"Karena HET (kini disebut Harga Acuan Pemerintah/HAP) itu mengikat publik. Mestinya, jika HET diberlakukan, sebaiknya hanya mengikat pemerintah dan operator yang ditugaskan untuk menjaga kestabilan harga, seperti Bulog atau ID Food," bebernya.
Dihubungi terpisah, Kepala Badan Pangan Nasional (BPN) Arief Prasetyo, juga menilai butuh penyesuaian HPP di tingkat petani.
"Memang harus kita sesuaikan agar terjadinya keseimbangan baru. Ada beberapa biaya produksi pembentuk harga yang naik, sehingga wajar bila ada penyesuaian," tuturnya.
Usulan kenaikan itu, lanjut dia, akan dibawa dalam rapat koordinasi teknis (rakornis) terkait harga pembelian dan penjualan gula oleh BPN.