Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku usaha hulu tambang nikel mendorong pemerintah untuk menyusun indeks harga nikel Indonesia atau Indonesia Nickel Prices Index menyusul disparitas yang makin lebar antara transaksi riil dari kewajiban pembayaran royalti nikel domestik beberapa waktu terakhir.
Seperti diketahui, harga patokan mineral (HPM) nikel selama ini masih merujuk pada harga di bursa berjangka dunia seperti London Metal Exchange (LME).
Adapun, harga indeks pada LME itu sebagian besar digerakkan oleh permintaan yang tinggi pada nikel kelas satu yang menjadi bahan baku baterai listrik.
Sementara itu, produksi nikel di Indonesia saat ini masih dominan berasal dari jenis kelas dua seperti nickel pig iron (NPI) feronikel (FeNi) hingga nikel matte yang menjadi bahan baku pembuatan stainless steel.
“Produk di Indonesia sekarang kan masih feronikel bukan nikel baterai, maka harga jual dari feronikel yang ditransaksikan antara penambang dan smelter ini jauh di bawah LME, rata-rata kurang dari 60 persen lah tahun ini,” kata Sekretaris Jenderal Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Resvani saat dihubungi, Senin (8/4/2023).
Menurut Resvani, situasi tersebut membuat pelaku hulu tambang nikel mesti membayar royalti yang lebih tinggi dari transaksi riil bersama dengan pabrikan smelter. Alasannya, selisih antara harga jual riil feronikel dari LME yang digunakan sebagai acuan penentuan tarif royalti bisa mencapai 40 persen saat ini.
Baca Juga
“Jadi ada pembengkakan dari pembayaran royalti dikarenakan harga riil di feronikel tidak sama dengan harga patokan yang didasarkan pada harga LME yang sangat tinggi,” tuturnya.
Dia berharap pembentukan Indonesia Nickel Prices Index dapat memberikan gambaran harga yang riil dari sisi pungutan royalti. Selain itu, harga acuan nikel Indonesia itu juga diharapkan dapat memberi posisi harga yang kuat dari komoditas tambang yang dihasilkan dari Indonesia mendatang.
“Kita jaga sumber daya kita dengan tetap menjualnya sesuai dengan harga yang seharusnya tapi juga tidak sampai terjadi harga yang di bawah standar, termasuk juga kaitannya dengan monopoli smelter di dalam negeri terhadap penambang-penambang itu,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, pemerintah tengah membahas pembentukan indeks harga nikel Indonesia sebagai acuan perdagangan nikel yang berasal dari dalam negeri. Indeks ini rencanannya memiliki bentuk dan fungsi seperti harga batu bara acuan atau HBA pada komoditas batu bara.
“Jadi untuk NPI, nikel matte, MHP dari Indonesia kami ingin ada benchmark harga sama dengan HBA-lah, kalau itu sudah ada kebijakan apa yang ingin kami keluarkan itu lebih mudah,” kata Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto, kepada Bisnis, Minggu (7/5/2023).
Seto mengatakan kementeriannya bersama dengan pemangku kepentingan terkait tengah mengkaji sejumlah metode perhitungan indeks harga yang ditawarkan sejumlah penyedia jasa, seperti Argus Media dan beberapa konsultan lainnya.
“Kami lagi diskusi metodologinya, kan ada beberapa yang menyediakan, [misal] Argus Media, ada beberapa provider metodologi itu yang lagi kami pilih mana yang paling tepat,” tuturnya.
Lewat indeks itu, Seto mengatakan, pemerintah bersama dengan pelaku usaha di dalam negeri bakal memiliki harga acuan tersendiri di luar LME yang selama ini jadi rujukan harga domestik.
Seperti diketahui, LME lebih banyak berisikan indeks untuk nikel kelas satu. Padahal, kata dia, Indonesia saat ini lebih banyak memproduksi turunan nikel kelas dua seperti NPI, FeNi hingga stainless steel.
“Indeks Indonesia ini nikel kelas dua kan banyak. Kalau LME itu kelas satu, saya kira akan lebih transparan untuk perdagangannya, ini akan jadi perbandingan juga terkait dengan perpajakannya kan bisa kelihatan nanti,” tuturnya.