Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RI Hadapi Gejala Deindustrialisasi, Pekerja Sektor Informal Meroket!

Indonesia mengalami gejala deindustrialisasi dengan semakin tergerusnya kontribusi manufaktur ke PDB serta meningkatnya pekerja sektor informal.
Pengemudi ojek online menunggu penumpang di kawasan Mayestik, Jakarta, Rabu (18/3/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Pengemudi ojek online menunggu penumpang di kawasan Mayestik, Jakarta, Rabu (18/3/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA -- Ekonomi Indonesia tumbuh di atas ekspektasi sejumlah ekonom. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia selama kuartal 1/2023 mampu tumbuh di angka 5,03 persen.

Kendati tumbuh positif, struktur ekonomi Indonesia pada kuartal 1/2023 belum menunjukkan perbaikan. Kontribusi sektor manufaktur ke produk domestik bruto (PDB) justru tergerus secara terus menerus.

Pada kuartal 1/2023, misalnya, sektor manufaktur hanya berkontribusi ke PDB sebesar 18,57 persen atau terendah selama 4 tahun terakhir.

Sekadar perbandingan, pada kuartal 1/2019 lalu kontribusi sektor industri pengolahan ke perekonomian mampu menembus angka 20 persen, kemudian turun pada kuartal 1/2020 menjadi 19,98 persen, 19,84 persen pada kuartal 1/2021, turun lagi menjadi 19,19 persen pada tiga bulan pertama tahun 2022.

Dalam catatan Bisnis, deindustrialisasi adalah proses kebalikan dari industrialisasi yaitu penurunan kontribusi sektor manufaktur alias industri pengolahan nonmigas terhadap PDB.

Selain dari kinerja manufaktur, sinyal deindustrialisasi juga bisa dibaca dari semakin besarnya porsi pekerja informal dalam struktur pekerjaan di Indonesia.

Data BPS mengungkap bahwa jumlah pekerja informal di Indonesia terus mengalami kenaikan. Pada Februari 2020 lalu, jumlah pekerja formal tercatat sebesar 43,36 persen dan sektor informasi sebanyak 56,64 persen. Jumlah pekerja informal naik menjadi 59,62 persen, sedangkan pekerja formal tersisa 40,38 persen pada Februari 2021.

Persentase jumlah pekerja formal terus tergerus pada tahun-tahun setelahnya, pada Februari 2022 BPS mencatat jumlah pekerja formal tersisa menjadi 40,03 persen. Sementara jumlah pekerja informal melejit hingga 59,97 persen.

Tren ini terus berlanjut, kendati pemerintah mengklaim bahwa kondisi perekonomian mulai menunjukan pemulihan dan perlahan lepas dari imbas pandemi Covid-19.

Namun demikian, jika mengacu kepada data BPS per Februari 2023, jumlah pekerja informal malah menembus angka 60,12 persen atau mengalami kenaikan 0,15 persen. Pekerja formal tercatat anjlok menjadi 39,88 persen.

Data mengenai tren peningkatan pekerja informal itu sejalan dengan tren penurunan penduduk yang berstatus sebagai buruh, karyawan dan pegawai. Berdasarkan data BPS jumlah buruh dalam waktu 3 tahun terakhir mengalami penurunan dari 37,02 persen pada Februari 2021 menjadi 36,72 persen pada Februari 2022, dan turun ke angka 36,34 pada Februari 2023.

Sebaliknya persentase penduduk yang berusaha sendiri terus naik setiap tahunnya. Pada Februari 2021, jumlah orang yang bekerja sendiri sebanyak 19,57 persen naik menjadi 19,84 pada Februari 2022. Pada perioede Februari 2023 jumlah orang yang berusaha sendiri menembus angka 20,67 persen.

Catatan Pengusaha

Sebelumnya, Wakil Ketua Kadin Koordinator Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W. Kamdani merespons kinerja produk domestik bruto (PDB) pada kuartal I/2023 yang tumbuh 5,03 persen (year-on-year/yoy).

“2023 merupakan tahun yang secara inheren sulit untuk menciptakan kinerja usaha yang eksponensial,” katanya, Jumat (5/5/2023).

Menurutnya, inflasi, pengetatan moneter, dan risiko krisis ekonomi masih tinggi sehingga kecepatan pertumbuhan demand pasar, baik di dalam maupun luar negeri relatif lambat dibandingkan tahun lalu.

Apalagi, pemerintah juga menerapkan kebijakan neraca komoditas yang secara riil memengaruhi kelancaran pasokan bahan baku atau penolong impor untuk industri manufaktur.

“Jadi ini kombinasi yang sangat-sangat tidak ideal untuk menciptakan peningkatan  confidence maupun pertumbuhan kinerja sektor manufaktur nasional,” ujarnya.

Jika kinerja manufaktur ingin didongkrak, maka rantai pasok industri manufaktur harus ditingkatkan kelancarannya dan output manufaktur nasional harus ditingkatkan secara signifikan sehingga memiliki kemampuan dan daya saing yang memadai di pasar ekspor.

Dia menuturkan, ekspansi ke pasar ekspor menjadi kunci lantaran secara esensi industri manufaktur nasional tidak bisa tumbuh secara eksponensial dalam waktu singkat bila hanya mengandalkan volume demand pasar dalam negeri lantaran pertumbuhan daya beli domestik sangat lambat.

“Hanya dengan kedua formula ini, skala produksi dan kinerja sektor manufaktur bisa terdongkrak jauh di atas pertumbuhan GDP,” katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper