Bisnis.com, JAKARTA - Sudah menjadi tradisi tahunan, lebaran selalu diwarnai hiruk-pikuk aktivitas mudik dan belanja masyarakat.
Lebaran telah menjadi momen perayaan penting bukan hanya bagi kaum muslim. Juga bukan hanya bagi kalangan mampu, melainkan juga bagi mereka yang berpendapatan menengah ke bawah.
Pada lebaran tahun ini, diprediksi ada 123 juta pemudik meramaikan lalu-lintas antar wilayah dan antar kota di Indonesia. Bertambah 14% dibandingkan musim mudik lebaran tahun 2022. Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah, apakah peningkatan jumlah pemudik benar-benar diikuti dengan lonjakan dorongan belanja?
Pada momen Idul Fitri, perekonomian biasanya mendapatkan daya dorong tambahan dari belanja masyarakat. Secara tradisi pada momen ini masyarakat lebih banyak mengeluarkan uangnya untuk menyambut kebersamaan dengan keluarga dan sanak kerabat. Masyarakat cenderung berbelanja lebih banyak untuk pangan, sandang, dan juga berwisata dibanding bulan-bulan lainnya. Selain didukung oleh kesempatan libur panjang, sebagian masyarakat juga mendapatkan tambahan pendapatan dari tunjangan hari raya.
Namun demikian, ada sejumlah fakta belanja masyarakat dalam beberapa bulan sebelum lebaran yang penting untuk diperhatikan. Salah satu indikatornya adalah tingkat penjualan retail. Hasil survey Bank Indonesia menunjukkan bahwa indeks penjualan retail pada triwulan pertama tahun ini ternyata hanya tumbuh 1,6% secara tahunan. Sangat jauh di bawah pertumbuhan pada triwulan pertama tahun 2022 yang mencapai 12,5%.
Jika ditelusuri lebih dalam, ternyata mayoritas barang-barang mengalami penurunan penjualan secara tahunan, kecuali produk-produk makanan minuman. Untuk makanan minuman pun, penjualan tahunannya pun hanya tumbuh 4%. Jauh di bawah pertumbuhan triwulan pertama tahun lalu yang menembus 20%.
Baca Juga
Selain sektor retail, kredit pemilikan rumah dan kendaraan bermotor juga bergerak lebih lambat pada awal 2023. Ini memang tak lepas dari berakhirnya insentif pajak yang diberikan selama masa pandemi melalui program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Kredit pemilikan rumah pada Januari tahun ini hanya tumbuh 0,16% secara tahunan, lebih lambat dibanding pertumbuhan rata-rata triwulan pertama 2022 yang mencapai 1,96%. Sementara pertumbuhan kredit kendaraan bermotor melemah dari 5,28% pada triwulan pertama tahun lalu menjadi 1,17% pada Januari tahun ini.
Fakta perlambatan konsumsi di atas diperkuat pula dengan menjinaknya inflasi. Setiap tahun, momen Ramadhan dan Idul Fitri memang selalu diwarnai dengan kenaikan harga barang-barang. Tidak terkecuali tahun ini. Namun tingkat kenaikan barang-barang pada periode Ramadhan tahun ini tidak sekuat tahun lalu.
Sejak Januari tahun ini inflasi bergerak tipis bahkan saat masuk awal Ramadhan di bulan Maret. Secara kumulatif inflasi pada Januari – Maret hanya 0,68%, hanya separuh dari inflasi pada periode yang sama tahun lalu. Padahal bulan Maret tahun lalu belum memasuki Ramadhan. Pelemahan inflasi tahun ini terjadi pada hampir di semua kategori barang, terkecuali golongan makanan dan minuman.
Memang kinerja inflasi bukan hanya ditentukan oleh faktor demand, tetapi juga supply. Rendahnya inflasi pangan, misalnya, juga dipengaruhi oleh meningkatnya pasokan karena telah memasuki musim panen raya. Apalagi akhir-akhir ini pemerintah juga mengimpor beras untuk memastikan pasokan di dalam negeri. Impor barang konsumsi pun pada periode Januari hingga Maret 2023 tumbuh 2,73% secara tahunan.
Akan tetapi, di tengah meningkatnya impor barang konsumsi, impor bahan baku dan penolong industri justru anjlok. Padahal impor kategori barang yang terakhir ini berkorelasi dengan pergerakan aktivitas produksi di tanah air. Meskipun Purchasing Managers Index manufaktur masih pada zona ekspansi sampai dengan bulan Februari 2023, impor bahan baku dan penolong secara tahunan mengalami kontraksi 6,6% pada triwulan pertama 2023.
Waspada Pelemahan Ekonomi Domestik
Melihat indikasi melemahnya konsumsi masyarakat sejak awal tahun, wajar jika daya dorong belanja lebaran tahun ini diperkirakan tidak sekuat tahun lalu. Kendatipun arus mudik tetap ramai. Setidaknya ada tiga faktor utama penyebab pelemahan tersebut. Pertama, lonjakan inflasi yang terjadi sepanjang tahun 2022 yang mengena terutama pada kebutuhan dasar, baik bahan pangan maupun energi, termasuk BBM bersubsidi. Inflasi yang lebih didorong oleh faktor supply ini telah menggerus daya beli masyarakat.
Kedua, scarring effect dari pandemi yang masih dirasakan oleh masyarakat berpendapatan menengah bawah dan sejumlah sektor. Ketiga, pelemahan ekonomi global yang menekan sektor-sektor yang mengandalkan pasar ekspor. Selain menurunnya harga komoditas andalan Indonesia, sejumlah sektor manufaktur khususnya padat karya sejak akhir tahun lalu bahkan harus mengurangi jumlah karyawannya akibat anjloknya penjualan ekspor.
Semua fakta di atas menunjukkan peningkatan tekanan yang dihadapi perekonomian domestik pada tahun ini. Oleh karenanya, kewaspadaan pemerintah harus ditingkatkan, apalagi di tengah kekhawatiran resesi global yang yang gejolaknya saat ini sudah dirasakan di sejumlah negara. Intervensi kebijakan fiskal dan moneter yang tepat jelas sangat dibutuhkan untuk meredam tekanan tersebut, khususnya bagi golongan masyarakat bawah dan pelaku usaha kecil yang paling rentan.
Normalisasi kebijakan fiskal oleh pemerintah tahun ini harus dijalankan secara sangat hati-hati, jangan sampai justru mendorong pelemahan konsumsi dan meningkatkan kerentanan ekonomi domestik. Pertama, selain bantuan sosial yang anggarannya sudah ditingkatkan untuk tahun ini, program-program penciptaan lapangan kerja, termasuk program padat karya, perlu digalakkan untuk mendorong pendapatan kalangan bawah. Demikian pula halnya pemberian insentif dan pendampingan bagi pelaku usaha terutama usaha kecil dan mikro, justru perlu ditingkatkan.
Kedua, langkah-langkah menjaga pasokan dan distribusi pangan perlu terus diperkuat agar kebutuhan dasar masyarakat ini dapat terjangkau secara berkelanjutan. Ketiga, subsidi energi (BBM, gas, listik) yang ditargetkan untuk masyarakat kalangan bawah harus terus dipertahankan, dengan meminimalkan ketidaktepatan sasaran dalam distribusinya.
Langkah-langkah tersebut masih dapat dilakukan di tengah upaya normalisasi fiskal. Tentunya dengan skala prioritas yang tepat dalam alokasi anggaran belanja, sehingga tidak melampaui target defisit APBN pada tahun ini.
Selain dorongan kebijakan fiskal, kebijakan moneter juga perlu secara cermat merespon dinamika kondisi ekonomi domestik. Pengetatan moneter secara agresif dalam merespon dinamika global harus dihindari untuk mencegah agar potensi resesi tidak sampai menjalar ke dalam negeri. Dengan bauran kebijakan yang tepat, konsumsi masyarakat yang sejak pandemi masih tumbuh di bawah 5%, niscaya akan pulih, bahkan dapat melebihi level pra-pandemi. Daya beli masyarakat pun dapat didongkrak secara berkelanjutan, tidak hanya menunggu momen Ramadhan dan Idulfitri.