Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom memproyeksikan defisit fiskal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 akan tetap berada di bawah angka tiga persen meski dikelilingi oleh banyak tekanan domestik dan global.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad melihat adanya potensi penurunan permintaan yang sangat mungkin terjadi akibat melemahnya harga komoditas di tingkat global.
“Melihat perkembangan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir, defisit untuk seluruh tahun 2023 tetap di bawah 3 persen, 2,8-2,9 dari GDP,” ujarnya, Selasa (4/4/2023).
Tauhid melihat potensi menurunnya penerimaan juga terlihat dari tingkat kepatuhan wajib pajak sebesar 61,79 persen, lebih rendah dari tahun sebelumnya akibat adanya kasus eks pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo (RAT).
“Di tengah banyak kasus, sedikit banyak akan mengganggu penerimaan,” tambahnya.
Melihat data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), per 31 Maret 2023 jumlah wajib pajak (WP) yang telah melaporkan SPT Tahunan mencapai 12.016.189. Angka tersebut mencakup 11.682.479 SPT orang pribadi dan 333.710 WP badan.
Baca Juga
Bila membandingkan dengan tahun lalu, atau pada 2022, jumlah WP yang melaporkan SPT Tahunan mencapai 15,8 juta dengan rasio kepatuhan mencapai 83,2 persen.
Lebih lanjut, Tauhid menyampaikan defisit sangat mungkin terkendali bila harga minyak dunia stabil. Namun bila terjadi kenaikan seperti tahun lalu, defisit berpotensi akan melebar.
“Seberapa jauh harga energi naik, peluang defisit fiskal membesar jauh, karena ada subsidi yang kemungkinan akan meningkat kalau harga energi naik,” jelasnya.
Hingga Februari 2023, pemerintah masih mencatat surplus anggaran senilai Rp131,83 triliun atau surplus sebesar 0,64 persen terhadap gross domestic product (GDP) atau produk domestik bruto (PDB).
Senada dengan Tauhid, Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah Redjalam mengatakan defisit fiskal akan tetap di bawah tiga persen dengan tekanan yang ada.
“Saya perkirakan pemerintah akan mampu menjaga agar defisit fiskal akan tetap di bawah 3 persen sepanjang 2023 walaupun beberapa asumsi APBN seperti harga minyak ICP tidak tercapai,” ungkapnya, Selasa (4/4/2023).
Menurutnya, pemerintah akan terus berupaya menyesuaikan pengeluaran terhadap penerimaan negara untuk tahun ini dan menjaga defisit di bawah tiga persen sesuai dengan Undang-undang (UU) No. 2/2020 yang menyebutkan defisit tidak boleh lebih dari 3 persen pada 2023.
Sementara itu, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) mencatat adanya risiko fiskal pada kuartal I/2023, yang diperkirakan akan bersumber dari deviasi antara target penerimaan negara dengan realisasinya yang akan berdampak secara agregat terhadap peningkatan defisit.
Dalam Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal Edisi I yang dikeluarkan oleh BKF, nilai tukar Rupiah yang melemah akan berdampak pada meningkatnya defisit APBN. Suku bunga SBN 10 tahun yang menurun akan berdampak pada turunnya defisit APBN.
Sementara penurunan harga ICP akan berdampak pada berkurangnya defisit APBN (karena adanya kompensasi energi).
“Oleh karenanya, maka pengalokasian dana cadangan risiko ekonomi makro 2023 dibutuhkan, dengan terus melakukan monitoring indikator pasar keuangan dan harga komoditas. Selain itu, kebijakan konsolidasi fiskal terbatas dapat terus dilakukan secara konsisten. Dalam hal pendapatan negara turun maka perlu dilakukan penyesuaian kebijakan antara lain dengan melakukan efisiensi belanja, dan/atau penambahan pembiayaan,” tulis laporan tersebut.