Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD sempat menyampaikan data yang berbeda dengan Kementerian Keuangan, terkait transaksi janggal yang diduga tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara menegaskan bahwa data yang disampaikan sama, namun terdapat perbedaan dari pengelompokkan yang disajikan masing-masing pihak.
“Cara menunjukkannya kami pakai pie chart, versi lain ada? Ada ya gapapa, tetapi bukan data yang berbeda, itu poin utamanya, bukan data yang berbeda,” tegasnya, Jumat (31/3/2023).
Salah satu data yang menonjol saat Menkopolhukam Mahfud MD menjelaskan, yaitu dirinya mengklaim adanya transaksi senilai Rp35,54 triliun yang melibatkan pegawai Kemenkeu secara langsung, sementara Menkeu Sri Mulyani mengklaim hanya Rp22 triliun.
“Perbedaan karena ketika kami melihat yang tabel Kemenkeu itu tidak menerima surat yang dikirimkan kepada APH [aparat penegak hukum]. Semua surat yang APH itu kami kelompokkan jadi satu,” tambah Suahasil.
Penyajian data Kemenkeu menunjukkan dari 300 surat dengan nilai Rp349 triliun terbagi menjadi tiga, yaitu 100 surat untuk APH senilai Rp74 triliun, menyangkut langsung pegawai Kemenkeu Rp22 triliun, dan 65 surat perusahaan/korporasi senilai Rp253 triliun menyangkut tusi (tugas fungsi) Kemenkeu.
Baca Juga
Sementara, data yang Mahfud sajikan juga terbagi tiga, namun terdiri dari transaksi langsung terkait pegawai Kemenkeu sebanyak 236 surat senilai Rp35,54 triliun, transaksi yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain sebanyak 30 surat dengan nilai Rp53,82 triliun.
Selain itu, transaksi keuangan terkait tusi Kemenkeu sebanyak 34 surat dengan nilai Rp260,5 triliun.
Sehingga, bila masing-masing data dijumlah, sama-sama mendapatkan nilai di kisaran Rp349 triliun.
“Keseluruhan 300 surat itu nilai totalnya berapa Rp349,874 triliun, sumber datanya sama, cara menyajikannya bisa berbeda tetapi kalau dikonsolidasi ya ketemu,” lanjut Wamenkeu.
Selain itu, dalam 300 surat tersebut terdapat satu surat dengan nilai transaksi paling besar, yaitu Rp189 triliun yang menyangkut impor emas.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Bea Cukai Askolani menjelaskan bahwa dari nilai impor emas Rp189 yang diduga sebagai TPPU, bea cukai tidak dapat membuktikan di pengadilan bahwa transaksi tersebut tidak pidana kepabeanan.
Kasus tersebut berlangsung hingga 2019 dan bea cukai kalah sehingga tidak dapat dilanjutkan kepada TPPU.
“Kemudian yang bersangkutan melakukan peninjauan kembali, di 2019 kemudian hasilnya dia menang, ini bukan tindak pidana, sehingga kami tidak bisa bawa ke TPPU seperti yang dimintakan PPATK,” ujarnya.