Bisnis.com, JAKARTA — Lemahnya kerangka regulasi terkait impor barang bekas membuat penindakan terhadap peredaran pakaian bekas dari luar negeri tidak optimal. Malahan, ruang terjadinya kongkalikong antara importir dengan pihak-pihak terkait masih terbuka.
Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo menegaskan pelarangan impor pakaian bekas karena bisa berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Maraknya aktivitas pembelian pakaian bekas (thrifting), termasuk barang impor, dapat berpengaruh terhadap industri lokal.
"Itu [impor pakaian bekas] mengganggu industri tekstil di dalam negeri, sangat mengganggu," ujar Jokowi pada pekan lalu.
Menurut Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto, pemerintah sedang membangun narasi bahwa aktivitas impor pakaian bekas dapat mengganggu industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri, hingga dapat berimbas kepada pendapatan negara.
Meskipun begitu, Suroto menilai bahwa belum terdapat tindakan nyata dalam penanganan masalah impor barang bekas dan penguatan industri dalam negeri. Kerangka regulasi yang ada tidak benar-benar dapat menghentikan keran impor pakaian besar atau menumbuhkan industri dalam negeri.
Pelarangan diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas. Lalu, terdapat pembaruan aturan yakni Permendag Nomor 40/2022 tentang Perubahan atas Permendag 18/2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
Baca Juga
Suroto menilai bahwa regulasi itu sangat lemah, karena meskipun berupa larangan tetapi tidak imperatif atau bersifat mengharuskan. Sanksi yang ada pun menurutnya hanya administratif, sehingga tidak cukup kuat untuk memberikan efek jera.
"Bahkan lemahnya regulasi ini berpotensi terjadinya kongkalikong antara importir dengan pihak kepabeanan di lapangan dari barang barang yang diselundupkan melalui 'jalur tikus'," ujar Suroto pada Jumat (24/3/2023).
Dia menilai bahwa tidak jelasnya kerangka regulasi membuat penindakan impor pakaian bekas menjadi sangat lemah. Suroto bahkan menilai bahwa penanganan di lapangan tidak serius, karena kepabeanan dan aparat penegak hukum tidak menelusuri dan menangkap 'bandar besar' dari aktivitas impor itu.
"Melihat regulasi yang lemah, maka dapat dikatakan penegasan pelarangan yang dilakukan presiden adalah hanya drama semata mata," katanya.
Suroto menilai bahwa membanjirnya pakaian bekas memang akan menjadi ancaman bagi industri dalam negeri. Namun, untuk menghadapi kondisi itu, pemerintah harus membuat pelarangan yang tidak represif dan memberikan insentif yang jelas bagi industri kreatif dalam negeri.
Menurut Suroto yang juga CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR) Federation, insentif harus berorientasi terhadap perkembangan industri rumah tangga (home industry) atau industri kecil dan menengah. Apabila tidak, berbagai kebijakan yang ada lagi-lagi menjadikan masyarakat kecil sebagai korbannya.
"Semestinya, jika pemerintah itu benar benar serius maka regulasi pelaranganya dibuat imperatif, para pedagang kecilnya diberikan jeda waktu yang jelas dan diarahkan untuk mengalihkan usahanya dari berjualan barang bekas lokal dan atau usaha lainya. Mereka selama ini telah banyak yang andalkan kegiatan penjualan sebagai gantungan hidup keluarganya," kata Suroto.