Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Impor Baju Bekas Subur karena Masyarakat Haus Brand tapi Daya Beli Minim

Berburu pakaian bekas atau thrifting belakangan menjadi tren di kalangan anak muda. Hal ini menjadi salah satu penggerus industri tektil lokal.
Ilustrasi pakaian bekas.
Ilustrasi pakaian bekas.

Bisnis.com, JAKARTA — Salah satu penyebab banjir impor pakaian bekas di Indonesia adalah karena masyarakat haus akan barang branded atau bermerek. Akan tetapi pada sisi lain banyak kalangna yang tidak didukung oleh daya beli.

Pengamat dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio mengatakan hal itu pada akhirnya membuat tren thrifting atau memburu baju impor meningkat pada beberapa tahun terakhir. 

Thrifting impor ini ya ini karena didorong oleh keinginan konsumen untuk mendapatkan produk yang memiliki brand ya, artinya mereka senang memiliki pakaian yang branded, tetapi harga yang didapatkan itu jauh lebih murah,” kata Andry kepada Bisnis pada Sabtu (18/3/2023).

Akan tetapi masalahnya gaya hidup tersebut mengganggu industri dalam negeri. “Nah itu pastinya akan merusak pasar gitu ya, karena mereka [baju bekas impor] harus head to head dengan pakaian dalam negeri yang mungkin dari segi kualitas tidak kalah, tetapi kan dari segi harga jauh ya,” tambah Andry.

Terlebih, pakaian bekas dari beberapa negara utamanya negara-negara di Asia itu memiliki nilai tambah yang dianggap lebih baik lantaran memiliki merek kuat, sedangkan produk Indonesia dianggap tidak setara.

Dengan demikian, menurut Andry, masyarakat akan berpikir jika produk impor pakaian bekas ini lebih menguntungkan bahkan dari segi tren dibandingkan dengan produk dalam negeri.

“Jadi ketika head to head produk pakaian bekas dari luar ini, produk dalam negeri tidak bisa berkompetisi gitu, masyarakat kan pasti akan melihat produk yang branded ini yang dia rasa bisa mengakomodir lifestylenya mereka,” kata Andry.

Terlebih, thrifting pakaian impor di Indonesia justru diminati kaum muda dan menjadi tren tertentu, hingga ramai diperbincangkan di media sosial.

Senada dengan Andry, Deputi Bidang Usaha Kecil dan Menengah Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) Hanung Harimba Rachman menyebutkan, pasar pakaian impor bekas ini bisa besar di Indonesia lantaran masyarakat yang melek terhadap merek namun enggan mengeluarkan kocek lebih dalam.

“Masyarakat kita ini masih suka brand dan sensitif dengan harga,” kata Hanung di kantor Kemenkop UKM pada Senin (13/3/2023).

Seperti diberitakan Bisnis sebelumnya, Indonesia dianggap sebagai surga bagi negara yang ingin mengubah sampahnya terutama pakaian bekas pakai menjadi uang, lantaran memiliki pasar pakaian bekas yang bagus.

Hal ini terlihat dari data dari Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) yang diperoleh Bisnis, perkiraan nilai seluruh barang hasil penindakan (BHP) berupa pakaian bekas impor ilegal sepanjang 2022 mencapai Rp23,91 miliar.

Angka perkiraan BHP Rp23,91 miliar tersebut didapat dari 220 penindakan pakaian bekas atau ball press. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 165 penindakan dengan perkiraan nilai BHP sebesar Rp17,42 miliar. 

Lalu, Ketua Umum Apsyfi Redma Gita Wiraswasta menyebutkan pada tahun 2022, pakaian bekas impor ilegal yang diperkirakan diserap pasar mencapai 432.000 ton. Sementara itu, total konsumsi pakaian dan barang jadi lainnya sebanyak 1,9 juta ton. Dengan asumsi angka tersebut, pakaian bekas impor telah mengambil 22,73 persen pasar domestik. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Widya Islamiati
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper