Bisnis.com, JAKARTA - Kehadiran Elon Musk (CEO Tesla) secara virtual di salah satu rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi G20 (KTT G20) pada November 2022 menarik perhatian publik karena mengenakan batik Bomba berwarna hijau, yaitu batik yang berasal dari Sulawesi Tengah.
Anindya Bakrie, moderator pada sesi tersebut menyatakan bahwa batik Bomba sengaja dikirimkan dari Sulawesi Tengah yang merupakan daerah yang kaya akan komoditas tambang mineral nikel. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa nikel yang ada di Indonesia khususnya di Sulawesi Tengah telah menjadi komoditas strategis di tingkat global.
Di tengah kondisi tersebut, masyarakat dikejutkan dengan putusan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) yang memenangkan gugatan dari Uni Eropa atas kebijakan Indonesia untuk melarang ekspor bijih nikel. Kebijakan larangan ekspor yang berlaku mulai 1 Januari 2020 tersebut merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk dapat mendorong pembangunan smelter nikel lebih cepat.
Sebagai tindak lanjut atas putusan WTO, pemerintah Indonesia secara resmi mengajukan banding pada 8 Desember 2022. Bagaimana masa depan nikel Indonesia setelah pengajuan banding tersebut? Apabila WTO menolak banding yang diajukan pemerintah Indonesia, bagaimana dampaknya terhadap industri nikel Indonesia?
Nikel adalah komoditas tambang mineral yang banyak ditemukan di kerak bumi dengan warna dasar putih keperakan, mengilap, sedikit keemasan, dan cukup keras. Indonesia merupakan negara dengan cadangan dan produksi bijih nikel terbanyak di dunia.
Dari seluruh cadangan nikel di Indonesia, sebagian besar berada di tiga provinsi di daerah timur Indonesia, yaitu Sulawesi Tenggara (1,86 miliar wet metrik ton (wmt)), Maluku Utara (1,40 miliar wmt) dan Sulawesi Tengah (870 juta wmt).
Apabila hasil banding tetap memutuskan bahwa Indonesia melanggar ketentuan WTO, maka Indonesia harus mengubah regulasi sesuai dengan keputusan WTO, salah satunya mencabut kebijakan larangan ekspor bijih nikel. Dengan adanya pencabutan kebijakan tersebut, maka penambang nikel di Indonesia tidak harus menjual bijih nikel ke smelter di dalam negeri, tetapi mereka mempunyai opsi untuk mengekspor ke luar negeri.
Keputusan penambang nikel menjual ke dalam negeri atau ekspor akan sangat bergantung kepada harga jual. Harga jual bijih nikel di tingkat global yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan domestik akan mendorong para penambang untuk lebih menjualnya ke pasar global. Berdasarkan data Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), harga bijih nikel kadar 1,8% di tingkat global pada Desember 2022 tercatat US$83,5 (SMM), jauh lebih tinggi dibanding Harga Patokan Mineral (HPM) yang ditetapkan Kementerian ESDM, yaitu US$57,54. Beberapa penambang bijih nikel di Kabupaten Morowali (pusat industri nikel di Sulawesi Tengah) berpendapat bahwa penjualan ekspor jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan menjual ke smelter dalam negeri, bahkan setelah dikurangi biaya pengiriman. Selain itu, sistem kontrak antara penambang dan smelter yang umumnya bersifat jangka pendek (1 bulan) juga membuat penambang mudah beralih ke konsumen dengan harga beli tertinggi.
Dengan demikian, apabila WTO menolak banding Pemerintah Indonesia dan masih terdapat perbedaan signifikan antara harga jual bijih nikel di tingkat global dan HPM, penambang bijih nikel diperkirakan akan cenderung memilih ekspor ke luar negeri sehingga akan berdampak terhadap terganggunya pasokan bijih nikel untuk memenuhi kebutuhan smelter di dalam negeri. Hal ini akan berdampak terhadap kinerja industri pengolahan nikel di Indonesia, di tengah masih terus bertambahnya jumlah smelter penghasil NPI dan MHP yang mulai beroperasi.
Selain itu, kondisi tersebut juga berisiko menahan investasi untuk pembangunan smelter nikel lebih lanjut, di tengah terus meningkatnya investasi di sektor logam dasar. Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi di sektor tersebut merupakan investasi tertinggi yang masuk ke Indonesia sepanjang tahun 2022, yaitu mencapai Rp150 triliun.
Dampak dari keputusan WTO tentu masih bergantung kepada apakah banding yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia diterima atau tidak. Namun, apabila banding tersebut ditolak, Pemerintah diharapkan dapat merumuskan kembali formulasi perhitungan HPM bijih nikel saprolit sehingga nilainya kompetitif jika dibandingkan harga di tingkat global. Hal ini penting untuk dilakukan agar penambang bijih nikel tetap memiliki insentif untuk menyuplai bijih nikel kepada smelter yang ada di Indonesia. Pilihan kebijakan lain yang dapat dipertimbangkan pemerintah adalah penerapan domestic market obligation (DMO) untuk bijih nikel, sehingga kebutuhan bijih nikel untuk smelter di dalam negeri masih dapat terpenuhi.