Bisnis.com, JAKARTA – Meningkatnya ketidakpastian ekonomi di seluruh bagian di dunia serta pengetatan kondisi keuangan membuat pelaku pasar memangkas perkiraan puncak suku bunga acuan AS dan awal pelonggaran moneter.
Melansir Bloomberg pada Kamis (16/3/2023), pergeseran ini juga turut memengaruhi pembuat kebijakan di Asia menjadi kurang hawkish, terutama karena inflasi tampaknya melambat.
“Pelonggaran ekspektasi the Fed yang hawkish pasti akan menghilangkan tekanan dari bank sentral yang mengincar Fed sebagai sumber tekanan kebijakan eksternal, terutama Indonesia, Korea Selatan dan Filipina,” kata analis NatWest Markets Galvin Chia.
Selama sepekan terakhir, pasar obligasi pendapatan tetap Asia telah menguat. Adapun penurunan tajam imbal hasil obligasi AS tenor dua tahun, yang mencerminkan penurunan sikap hawkish, seperti di Thailand, atau peningkatan sikap dovish seperti di Korea Selatan, demikian ungkap analis Goldman Sachs Group Inc.
Sementara itu, hubungan antara obligasi Treasury AS dan mata uang Asia menjadi semakin terbalik selama setahun terakhir. Korelasi antara imbal hasil obligasi dua tahun AS dan Indeks Dolar Asia menjadi yang paling negatif sejak 2016 minggu ini.
Dalam waktu yang sama, korelasi yang meregang berarti setiap penurunan dalam imbal hasil Treasury, seperti yang terlihat minggu ini memberikan banyak ruang bagi mata uang Asia untuk bangkit kembali.
Baca Juga
Kenaikan mata uang regional akan memperlambat inflasi lebih lanjut dan mengurangi tekanan pada bank sentral regional untuk menaikkan suku bunga.
Laju inflasi di Asia juga diperkirakan telah mencapai puncaknya. Data indeks harga konsumen untuk bulan Februari di China, Filipina, Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand semuanya berada di bawah perkiraan median para ekonom dalam survei Bloomberg.
Hal ini juga menghilangkan faktor pendorong lain untuk kenaikan suku bunga acuan bank sentral.