Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa kondisi perekonomian global relatif membaik pada Februari 2023. Namun, ada 2 risiko global yang perlu diwaspadai.
Hal ini tercermin dari indikator PMI Manufaktur global, terutama negara maju yang sudah mengalami perbaikan meski masih berada pada zona kontraksi.
Amerika Serikat misalnya, PMI Manufakturnya tercatat sebesar 47,3. Sementara, PMI manufaktur China mengalami perbaikan yang signifikan ke level 51,6, yang sebelumnya mencatatkan kontraksi.
“Di global PMI Manufaktur tercatat 50. Ini menggambarkan manufaktur global sudah mulai membaik, tentu salah satunya disumbang oleh China yang mengalami perbaikan signifikan,” katanya dalam konferensi pers APBN Kita, Selasa (14/3/2023).
Sejalan dengan itu, perekonomian di kawasan Asia juga membaik, Sri Mulyani mengatakan bahwa PMI manufaktur Vietnam yang sempat mengalami kontraksi telah meningkat ke zona ekspansi. PMI manufaktur Malaysia juga membaik meski masih terkontraksi pada level 48,4.
Sementara itu, PMI Manufaktur Indonesia dan India masih berada pada zona ekspansi dan masih menunjukkan stabilitas pertumbuhan di industri manufaktur.
Baca Juga
Namun demikian, Sri Mulyani menyampaikan bahwa harga komoditas yang masih sangat volatile di pasar global perlu terus diwaspadai.
Dia mencontohkan, harga gas alam mengalami penurunan yang signifikan, namun pada Februari 2023 hanya pulih sedikit. Harga batu bara yang menjadi penyumbang kegiatan ekonomi Indonesia juga terkoreksi sangat dalam.
“Minyak bumi juga mengalami koreksi dan tetap ada di kisaran US$83 per barel untuk brent. CPO juga yang sangat memberikan pengaruh ke ekonomi dan APBN kita menunjukkan ada sedikit perbaikan harga di US$948 per ton, ini lebih baik dibandingkan dengan kondisi yang pernah jatuh di angka US$720 per ton. Namun, dibandingkan masa pertengahan tahun lalu yang mencapai US$1.779, jelas US$948 itu lebih rendah signifikan,” jelasnya.
Selain harga komoditas, Sri Mulyani mengatakan bahwa laju inflasi global juga masih perlu terus diwaspadai.
Laju inflasi, imbuhnya, sudah mulai menurun namun penurunannya tidak cukup cepat. Inflasi di Amerika meski sudah menurun ke tingkat 6,4 persen, namun masih lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat suku bunga The Fed atau Fed Funds Rate di 4,75 persen.
Dengan perkembangan tersebut, bank sentral AS memberi sinyal arah kebijakan suku bunga yang masih hawkish. Demikian juga terjadi di Eropa yang tingkat inflasinya masih tinggi sebesar 8,5 persen.
“Demikian beberapa negara lain bahwa koreksi inflasi serta bagaimana policy rate akan menjadi faktor yang harus diperhatikan dan diperhitungkan untuk tidak menimbulkan suatu ekses atau dampak dari kebijakan moneter yang dilakukan negara maju,” kata dia.