Bisnis.com, JAKARTA — PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN menilai terdapat kesulitan untuk mempercepat upaya transisi energi di tengah kondisi kelebihan pasokan listrik atau oversupply saat ini.
Sementara itu, harga pembangkit energi baru terbarukan (EBT) terbilang mahal untuk diadopsi dalam waktu dekat.
“Sistem kita masih oversupply, kita terikat take or pay dengan pengembang IPP [produsen listrik swasta] lalu kita kembangkan EBT-kan dua kali pos,” kata Senior Executive Vice President Manajemen Risiko PLN Gong Matua Hasibuan saat ditemui di Jakarta, Rabu (1/3/2023).
Di sisi lain, dia berpendapat, kemampuan bayar listrik dari pelanggan PLN masih relatif rendah. Hal itu tercermin dari porsi subsidi dan kompensasi yang dialokasikan negara dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) setiap tahunnya.
Kondisi itu, menurutnya, membuat negosiasi perjanjian jual beli listrik [PJBL] antara PLN dengan pengembang listrik swasta atau independent power producer (IPP) seringkali tidak menemui titik temu.
“Pasti tidak ketemu karena konsekuensinya apakah selisih harga dilepas ke pelanggan, berat toh,” kata dia.
Baca Juga
Seperti diberitakan sebelumnya, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, terdapat kelebihan pasokan listrik sebesar 7 gigawatt (GW) hingga akhir 2022.
Tambahan kapasitas daya setrum itu makin memperlebar kelebihan pasokan lantaran permintaan listrik pada periode yang sama hanya tercatat di kisaran 1,2 GW hingga 1,3 GW.
“Kami memang menghadapi kondisi oversupply di Pulau Jawa, selama 12 bulan ini ada penambahan kapasitas sekitar 7 GW dan penambahan demand-nya hanya sekitar 1,2 GW hingga 1,3 GW,” kata Darmawan saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI, Jakarta, Rabu (15/2/2023).
Adapun, pemerintah sempat memproyeksikan potensi kelebihan pasokan listrik perusahaan setrum pelat merah itu dapat mencapai 5 GW tahun ini.
Kendati demikian, Darmawan menerangkan, perseroannya berhasil mengurangi beban take or pay (ToP) mencapai RP47,05 triliun untuk periode 2021 hingga 2022. Adapun, porsi pengurangan ToP yang signifikan disepakati pada periode 2021 dengan nilai mencapai Rp37,21 triliun.
“PLN berhasil mengurangi ToP sebesar Rp47,05 triliun hingga 2022 dengan cara renegosiasi dan juga melakukan pemunduran operasi pembangkit dari IPP,” kata dia.