Bisnis.com, JAKARTA - Dino Patti Djalal, Pendiri dan Ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) sekaligus mantan Menteri Luar Negeri, memprediksi bahwa uang dari sektor batu bara atau coal money akan 'membanjiri' penyelenggaraan Pemilu 2024.
Hal itu terjadi seiring masih adanya pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) serta orang kaya semakin kaya karena meroketnya harga batu bara akibat pandemi dan perang Rusia vs Ukraina.
"Artinya, coal money kemungkinan besar akan mendominasi pembiayaan pemilu," ujarnya dalam diskusi publik dengan tema “Indonesian Climate Policy Outlook 2023”, Kamis (23/2/2023).
Mantan Menteri Luar Negeri era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut mengatakan salah satu hal yang membuat dirinya khawatir, yaitu lantaran tidak ada aturan terkait penggunaan uang batu bara untuk biaya Pemilu.
Meski demikian, dia mengingatkan semua pihak untuk memantau serta memastikan calon presiden akan membuat posisi terkait isu iklim.
"Bagaimana caranya capres nanti tetap bersih dan berpihak pada isu-isu perubahan iklim, tanpa terpengaruh oleh berapa besar uang batu bara yang mereka dapatkan. Bagi saya, itulah pertanyaan politik terbesar," kata Dino.
Baca Juga
Deforestasi Hutan
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Program World Resources Institute (WRI) Indonesia Arief Wijaya menilai isu deforestasi hutan juga menjadi isu strategis yang akan muncul jelang Pemilu dan pemilihan presiden (Pilpres).
Menurutnya, pemerintah Indonesia selama 6 tahun berturut-turut berhasil mengurangi deforestasi sehingga dapat dikatakan sektor kehutanan saat ini sudah on-track dalam membantu pemerintah Indonesia mencapai climate goals-nya.
"Tetapi, yang perlu juga diperhatikan adalah kondisi pada 2024 atau tahun politik. Analisis dari beberapa lembaga riset menyebutkan adanya kecenderungan di Indonesia ketika atau setelah tahun Pilkada/Pemilu, biasanya deforestasi akan mengalami peningkatan," imbuhnya.
Pasalnya, kata dia, kepentingan politik Pilkada terkait dengan janji-janji politik Calon Kepala Daerah tidak dapat dilepaskan.
Di masa lampau, umumnya, ketika calon pemerintah daerah terpilih, pemberian izin berusaha direalisasikan dan berakibat pada kenaikan laju kerusakan hutan.
"Pemerintah telah berkomitmen untuk menekan angka deforestasi serendah mungkin. Tetapi, ini harus dibarengi dengan percepatan upaya rehabilitasi lahan dan restorasi. Saat ini, restorasi yang terjadi kira-kira hanya sekitar 3-5 persen angka deforestasi tahunan," ungkapnya.
Terkait isu perubahan iklim, Dino menilai kebijakan pemerintah Indonesia hingga saat ini masih sangat kurang dan bahkan masih overshoot dari batas pemanasan global 1,5 derajat Celcius.
Target tersebut terbilang rendah terutama apabila dibandingkan dengan negara-negara lain yang telah melibatkan climate goals dalam peraturan-peraturan hukum di negara-negaranya.
"Untuk dapat menjaga kenaikan suhu global di 1,5 derajat Celcius, target net-zero emissions (nol emisi bersih) Indonesia harus dicapai di tahun 2050, bukan 2060 yang merupakan target nasional sekarang," ujar Dino.