Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Essential Services Reform (IESR) menyarankan pemerintah untuk memperketat kuota emisi dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) secara bertahap seiring dengan implementasi perdagangan karbon tahun ini.
Direktur IESR Fabby Tumiwa mengatakan, pemberlakuan kuota emisi yang ketat bakal berdampak positif pada upaya pembiayaan serta investasi pada pembangkit energi baru terbarukan (EBT) mendatang.
“Semakin ketat target kuota emisinya, semakin rendah kan, peluang EBT yang masuk akan lebih besar,” kata Fabby saat dihubungi, Rabu (22/2/2023).
Menurut Fabby, skema perdagangan tersebut dapat menjadi opsi lain bagi pengembang EBT untuk mendapatkan pendanaan lain seiring dengan komitmen pengurangan emisi dari PLTU.
“Yang jelas ada alternatif pemasukan, EBT bisa dikembangkan,” tuturnya.
Nilai transaksi perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik tahap satu tahun ini diperkirakan dapat menembus di angka US$9 juta atau setara dengan Rp136,8 miliar (asumsi kurs Rp15.209 per US$).
Baca Juga
Estimasi nilai transaksi itu berasal dari alokasi kuota emisi yang berpotensi diperdagangkan secara langsung antarperusahaan pembangkit sebesar 500.000 ton CO2e tahun ini.
Potensi sisa kuota karbon yang diperdagangkan itu diperoleh dari rekapitulasi emisi sepanjang tahun lalu sebesar 20 juta ton CO2e.
Saat itu, PLTU yang menghasilkan emisi di bawah persetujuan teknis batas atas emisi gas rumah kaca pelaku usaha (PTBAE-PU) mencapai di level 9,7 juta ton CO2e. Realisasi emisi di bawah PTBAE-PU itu kemudian diidentifikasi sebagai surplus emisi.
Di sisi lain, PLTU yang menghasilkan emisi di atas PTBAE-PU mencapai di level 10,2 juta ton CO2e. Realisasi emisi yang melebihi PTBA-PU itu belakangan dikategorikan sebagai defisit emisi.
Potensi kuota karbon yang dapat diperdagangkan secara langsung dihitung dari defisit emisi dikurangi dengan surplus emisi sepanjang tahun sebelumnya. Dengan demikian, hasil pengurangan neraca karbon itu mengalokasikan kuota untuk diperdagangkan tahun ini sebesar 500.000 ton.
Sementara itu, Kementerian ESDM memproyeksikan harga kredit karbon dari setiap emisi itu dinilai dengan rentang US$2 per ton CO2e sampai dengan US$18 per ton CO2e.
“ESDM tidak mengeluarkan harga tapi itu hanya kajian dari kita-kita bahwa US$2 per ton sampai US$18 per ton itu berdasarkan spesifikasi dari pembangkit-pembangkit masing-masing,” kata Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Priharto Dwinugroho saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (22/2/2023).
Priharto mengatakan, rentang harga itu relatif dapat menjaga keekonomian pembangkit di tengah upaya pemerintah untuk menerapkan perdagangan karbon tahun ini.
“Harga saat ini secara keekonomian itulah yang paling make sense di kita,” kata dia.
Inisiasi perdagangan karbon tahun ini bakal menyasar pada 99 PLTU batu bara yang berasal dari 42 perusahaan dengan total kapasitas terpasang 33.569 megawatt (MW).
Adapun, perdagangan karbon mandatori tahun ini dilakukan untuk PLTU yang terhubung ke jaringan tenaga listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW.
Kementerian ESDM menetapkan PTBAE paling ketat di angka 0,911 ton CO2e untuk PLTU nonmulut tambang dengan kapasitas terpasang di atas 400 MW.
Selain itu, Kementerian ESDM menetapkan PTBAE untuk PLTU nonmulut tambang dengan kapasitas terpasang di rentang 100 MW sampai sama dengan 400 MW diputuskan sebesar 1,011 ton CO2e per MWh.
Sementara itu, PTBAE untuk PLTU mulut tambang di atas 100 MW diputuskan mencapai 1,089 CO2e per MWh. Di sisi lain, kuota emisi untuk PLTU nonmulut tambang dan yang berada di mulut tambang dengan kapasitas terpasang 25 MW sampai sama dengan 100 MW sebesar 1,297 ton CO2e per MWh.