Bisnis.com, JAKARTA — PLN Nusantara Power berencana untuk menerbitkan kredit karbon sertifikat pengurangan emisi (SPE) hingga 1,57 juta ton CO2e pada tahun ini.
Rencana penerbitan kredit karbon SPE dari anak usaha PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN yang terbilang besar itu menandakan peluang bisnis yang terbuka lebar untuk perdagangan faktor pengurang emisi mendatang di Tanah Air.
“Kami punya potensi SPE sebesar 1,57 juta ton CO2e yang bisa diperdagangkan,” kata Direktur Utama PLN Nusantara Power Rully Firmansyah selepas peluncuran perdagangan karbon subsektor pembangkit listrik di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (22/2/2023).
Potensi kredit SPE PLN Nusantara Power itu berasal dari tiga proyek pembangkit, di antaranya pengoperasian pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) baru di Blok 3 Muara Karang dalam skema SRN. Adapun potensi besaran kredit karbon dari PLTGU itu mencapai 1,2 juta ton CO2e.
Selain itu, pengoperasian pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Sipansihaporas dan PLTA Renun diproyeksikan memiliki potensi kredit karbon sebesar 363.957 ton CO2e lewat skema verified carbon system (VCS).
“Kita harapkan dengan adanya trading ini biaya kemarin investasi energi baru terbarukan bisa ditanggung oleh PLTU yang biaya operasinya lebih murah,” kata Rully.
Baca Juga
Adapun, PLN Nusantara Power bakal mengikutkan 11 PLTU mereka untuk ikut dalam perdagangan karbon mandatori tahap pertama tahun ini. Kuota emisi yang diperoleh 11 unit pembangkit PLN Nusantara Power berada pada angka 35,29 juta ton CO2e.
Pada tahap pertama perdagangan karbon tahun ini, ESDM melibatkan 99 PLTU yang terhubung dengan jaringan listrik PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN dengan total kapasitas terpasang 33.569 megawatt (MW).
Seperti diketahui 99 PLTU dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW itu berasal dari 42 perusahaan. Perinciannya 55 unit PLTU milik Grup PLN dan sisanya milik independent power producer (IPP).
“Ke depannya, secara bertahap perdagangan karbon di subsektor pembangkit tenaga listrik pada fase dua, tiga akan diterapkan pada PLTU yang tidak terhubung jaringan PLN tapi di luar wilayah usaha PLN, untuk kepentingan sendiri,” kata Menteri ESDM Arifin Tasrif saat membuka peluncuran perdagangan karbon subsektor pembangkit listrik di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (22/2/2023).
Nilai transaksi perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik tahap satu tahun ini diperkirakan dapat menembus di angka US$9 juta atau setara dengan Rp136,8 miliar, asumsi kurs Rp15.209.
Estimasi nilai transaksi itu berasal dari alokasi kuota emisi yang berpotensi diperdagangkan secara langsung antar perusahaan pembangkit sebesar 500.000 ton CO2e tahun ini.
Potensi sisa kuota karbon yang diperdagangkan itu diperoleh dari rekapitulasi emisi sepanjang tahun lalu sebesar 20 juta ton CO2e.
Saat itu, PLTU yang menghasilkan emisi di bawah persetujuan teknis batas atas emisi gas rumah kaca pelaku usaha (PTBAE-PU) mencapai di level 9,7 juta ton CO2e. Realisasi emisi di bawah PTBAE-PU itu kemudian diidentifikasi sebagai surplus emisi.
Di sisi lain, PLTU yang menghasilkan emisi di atas PTBAE-PU mencapai di level 10,2 juta ton CO2e. Realisasi emisi yang melebihi PTBA-PU itu belakangan dikategorikan sebagai defisit emisi.
Potensi kuota karbon yang dapat diperdagangkan secara langsung dihitung dari defisit emisi dikurangi dengan surplus emisi sepanjang tahun sebelumnya. Dengan demikian, hasil pengurangan neraca karbon itu mengalokasikan kuota untuk diperdagangkan tahun ini sebesar 500.000 ton.
Sementara itu, Kementerian ESDM memproyeksikan harga kredit karbon dari setiap emisi itu berada di rentang US$2 per ton CO2e sampai dengan US$18 per ton CO2e.
“ESDM tidak mengeluarkan harga tapi itu hanya kajian dari kita-kita bahwa US$2 per ton sampai US$18 per ton itu berdasarkan spesifikasi dari pembangkit-pembangkit masing-masing,” kata Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Priharto Dwinugroho saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (22/2/2023).
Priharto mengatakan rentang harga itu relatif dapat menjaga keekonomian pembangkit di tengah upaya pemerintah untuk menerapkan perdagangan karbon tahun ini.
“Harga saat ini secara keekonomian itulah yang paling make sense di kita,” kata dia.