Bisnis.com, JAKARTA – Malaysia mencatatkan pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 8,7 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) sepanjang 2022. Peningkatan ini menjadi yang tertinggi dalam lebih dari dua dekade.
Pertumbuhan tersebut sejalan dengan ekspektasi pemerintah Malaysia dan berbanding tipis dari rata-rata estimasi pertumbuhan dalam survei Bloomberg yang mematok kenaikan 8,6 persen yoy.
Pada kuartal IV/2022, ekonomi Malaysia mencatatkan pertumbuhan 7 persen dari realisasi 2021 karena didorong oleh kuatnya permintaan domestik. Akan tetapi, jika dibandingkan secara kuartalan, terjadi kontraksi sebesar 2,6 persen.
Penurunan secara kuartalan itu terjadi seiring dengan memudarnya dukungan dari otoritas Malaysia dalam pemberian stimulus. Oleh sebab itu, para ekonom melihat laju ekspansi pertumbuhan Malaysia akan melambat menjadi 4 persen sepanjang tahun ini.
Di sisi lain, pemberian bantuan tunai dan subsidi untuk makanan dan bahan bakar telah membantu Malaysia untuk tetap mempertahankan demand pada 2022, meskipun terjadi kenaikan suku bunga acuan 100 basis poin.
Gubernur Bank Sentral Malaysia Nor Shamsiah Yunus mengatakan bahwa keseimbangan risiko pertumbuhan ekonomi ke depan akan tetap miring ke bawah lantaran dipengaruhi oleh faktor eksternal. Namun, hal itu diperkirakan tidak akan membuat Malaysia jatuh ke jurang resesi.
“Namun, risikonya tidak cukup besar untuk mendorong ekonomi ke dalam resesi,” ujarnya dikutip dari laporan Bloomberg, Jumat (10/2/2023).
Perlambatan ekonomi global diperkirakan akan merusak kinerja ekspor Malaysia. Pada Desember lalu, pertumbuhan ekspor Malaysia hampir mencapai 6 persen yoy atau di bawah ekspektasi dan melambat setelah 16 bulan beruntun tumbuh dobel digit.
Sementara itu, inflasi utama dan inti terlihat lebih moderat pada tahun ini. Akan tetapi, Pemerintah Negeri Jiran melihat inflasi akan tetap berada pada tingkat yang tinggi.