Bisnis.com, JAKARTA - Shell mencetak laba sebesar US$40 miliar atau setara Rp595,8 miliar pada 2022 di tengah gejolak harga energi setelah invasi Rusia ke Ukraina.
Laba perusahaan Inggris ini meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun sebelumnya yang mencapai US$19 miliar, dan bahkan jauh melampaui rekor sebelumnya sebesar US$31 miliar pada tahun 2008.
"Kami berniat untuk tetap disiplin sambil memberikan imbal hasil yang menarik bagi para pemegang saham," jelas Chief Executive Officer (CEO) Wael Sawan sebagaimana dikutip dari Reuters, Kamis (2/2/2023).
Shell juga mencatat rekor laba kuartal IV/2022 sebesar US$9,8 miliar yang didukung oleh pemulihan dalam pendapatan dari perdagangan gas alam cair Liquefied Natural Gas (LNG), mengalahkan perkiraan analis untuk laba sebesar US$8 miliar.
Kenaikan ini didorong oleh harga minyak dan gas yang lebih tinggi, margin penyulingan yang kuat, hingga kinerja yang kuat dari bisnis perdagangan Shell.
Pendapatan dari divisi LNG menyentuh rekor tertinggi sebesar US$6 miliar, didorong oleh pendapatan perdagangan yang kuat secara keseluruhan di tengah gejolak harga gas, meskipun mencatat kerugian pada kuartal III/2022 dan penurunan volume pencairan karena penghentian aktivitas fasilitas LNG.
Baca Juga
Seperti diketahui, perang Rusia-Ukraina telah memicu volatilitas besar di pasar minyak, gas, dan listrik di seluruh dunia, sehingga Shell dan para pesaingnya diuntungkan melalui operasi perdagangan
Shell menargetkan membangun bisnis energi terbarukan dan energi rendah karbon yang besar sebagai bagian dari rencana besar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dalam beberapa dekade mendatang.
Shell menginvestasikan sekitar US$3,5 miliar untuk bisnis energi terbarukan dan solusi energi pada tahun 2022. Jumlah ini setara 14 persen dari belanja modal sebesar US$24,8 miliar.
Sementara itu, Shell menganggarkan belanja modal atau capital expenditure (capex) sebesar US$23 miliar hingga US$27 miliar pada tahun 2023.