Bisnis.com, JAKARTA - Umurnya sekitar 30 tahunan. Di hari minggu, bersama istri dan anak balitanya, mereka makan di restoran cepat saji. Sang anak asyik bermain perosotan di area anak, ditemani sang ibu yang dengan sabar menyuapi makan. Tapi sang ayah, ternyata masih berkutat dengan laptop dan sesekali menjawab panggilan telepon.
Hustle culture bapak muda di atas, sedikitnya memberi gambaran tentang apa yang dilakukan APBN selama 3 tahun terakhir. Kita masih ingat, bagaimana APBN bekerja di atas batas normalnya. Manuver (berbahaya) yang rela dilakukan demi menyelamatkan masyarakat sekaligus ekonomi bangsa. Pemerintah bersama DPR kompak membuat payung hukumnya, hingga Bank Indonesia (BI) yang mesra burden sharing menyangga kesehatan fiskal.
Kegilaan bekerja mungkin bukan inisiatif bapak itu, tetapi lebih disebabkan hectic—pekerjaan di kantor. Penyebab hustle culture sendiri menurut Arik Prasetya (Universitas Brawijaya), salah satunya adalah karena tidak mengenal dirinya sendiri.
Untunglah Pemerintah mengenal betul diri atau tepatnya fundamental ekonomi nasional. Terbukti program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), penekanannya berbeda disetiap tahun. PEN tahun 2020 dengan anggaran Rp695,2 triliun menyasar penanganan kesehatan, perlindungan sosial (perlinsos), program prioritas, dukungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) atau korporasi, serta insentif usaha.
Tahun 2021 adalah PEN dengan anggaran terbesar, yaitu Rp744,7 triliun. Saat itu program vaksinasi dan intervensi sektor kesehatan masif dilakukan pemerintah, menurut Menteri Keuangan. Berbeda lagi dengan PEN tahun 2022, baik dari anggaran maupun programnya. Anggarannya menciut jadi Rp455,6 triliun, sedangkan programnya tinggal penanganan kesehatan, perlinsos, dan penguatan ekonomi.
Pertanyaannya, worth it kah dampaknya ke perekonomian nasional?
Baca Juga
Menurut rilis Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi nasional sempat kontraksi (-2,07%) di tahun 2020, atau lebih baik dari ekonomi dunia yang -3,1%. Buruknya kondisi ekonomi 2020 memang dialami hampir seluruh dunia. Negara-negara dengan ekonomi besar seperti Amerika Serikat dan di Eropa pun tidak luput, bahkan terpuruk lebih dalam. Untuk sementara skor 1–0 untuk APBN di tahun 2020.
Tahun 2021 ekonomi nasional mampu tumbuh (3,69%), tetapi sayangnya lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi dunia (5,7%). Menurut Gubernur BI, pertumbuhan dunia hanya ditopang China dan AS yang mempunyai akses dan sumber daya lebih besar. Apa pun itu, indikasi tadi harus menjadi sinyal kehati-hatian kalau pertumbuhan ekonomi bangsa ini di bawah rata-rata. Tahun 2021, skor imbang menjadi 1–1.
Pertumbuhan ekonomi nasional hingga Kuartal III tahun 2022 lalu, menurut rilis BPS adalah 5,4%. Dengan kinerja tersebut, proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2022 yang 5,3% sepertinya berpeluang besar tercapai. Padahal tahun 2022, world economic outlook-nya International Monetary Fund (IMF) diperkirakan tumbuh 3,2% saja lho. Dengan begitu fix sudah kerja keras APBN worth it dengan skor 2–1.
GEJALA QUIET QUITTING
Perlu diingat bahwa hustle culture pada titik tertentu, bisa mengakibatkan burn out atau kelelahan. Jangan sampai APBN muspro alias tidak optimal padahal telah bekerja habis-habisan, atau menjadi terdelusi sehingga APBN tidak maksimal.
Kekhawatiran itu mengakibatkan perlu diwaspadainya indikasi perlambatan ekonomi. Jangan sampai kerja berdarah-darah APBN 3 tahun terakhir malah menghabiskan energi, dan mengakibatkan quiet quitting perekonomian nasional.
Istilah quiet quitting sendiri diartikan sebagai perilaku untuk tidak lagi melakukan sesuatu yang ekstra dalam aktifitasnya (pekerjaan). Perilaku yang mulai trending, saat pengguna Tiktok membuat konten itu pada bulan Juli tahun 2022 lalu.
Gejala pertama adalah perlambatan Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur nasional. Index ini menggambarkan seberapa optimis pelaku sektor bisnis, terutama industri, terhadap kondisi perekonomian ke depannya. Sayangnya indikator tersebut terus melemah 2 bulan terakhir, meskipun masih diteritori ekspansif.
Gejala “quiet quitting” juga mulai terasa di sektor moneter nasional. Sejak Bank Sentral AS menaikkan suku bunganya di bulan Mei lalu, cadangan devisa dan nilai tukar rupiah kena getahnya. Pantauan BI, cadangan devisa per bulan Oktober lalu hanya cukup untuk impor dan cicilan utang selama 5 bulanan. Penyebab tekor sudah bisa ditebak, salah satunya yaitu untuk stabilisasi rupiah.
Seakan mengonfirmasi, likuiditas perekonomian kinerjanya juga ikut-ikutan melambat. Uang beredar dalam bentuk sempit (M1) maupun luas (M2), keduanya terus merosot sejak Kuartal II lalu. Pascalibur lebaran, sepertinya aktivitas ekonomi masyarakat memang cenderung melemah.
Kembali kulihat keluarga kecil itu. Sepertinya sang istri mulai kesal dan meminta suaminya untuk menutup laptop. Workaholic sang suami tampaknya sudah tidak bisa diterima ibu muda itu. Dia membandingkan dengan orang tua lain di sana, tidak ngoyo dan bisa santai menikmati hidup.