Bisnis.com, JAKARTA - Meski kredit pemilikan rumah (KPR) diproyeksi melambat akibat sentimen politik pada 2023, prospek bisnis properti diyakini tetap cerah.
Tahun politik umumnya dilihat sebagai sentimen negatif. Pasalnya, banyak konsumen dan investor properti mulai berprinsip wait and see untuk bertransaksi.
Hal ini didorong adanya pergeseran kebijakan dan kepercayaan dari pemerintah saat ini dan yang terpilih nantinya. Namun, dari sisi permintaan dan daya beli, properti menjadi salah satu yang diperhitungkan masyarakat.
"Properti relatif resilient, history di tahun 2014 dan 2019 bicara mengenai KPR ada penurunan, tapi KPR memang masih tumbuh dibandingkan kredit di sektor yang lainnya," kata Marine, Country Manager Rumah.com dalam kegiatan Indonesia Property Market Outlook & Tren Real Estate 2023, Kamis (15/12/2022).
Berdasarkan hasil survey Rumah.com, dari 1.000 responden sebanyak 82 persen menyatakan akan berencana membeli rumah dalam satu tahun ke depan. Adapun, segmen pembeli properti dalam beberapa tahun ke depan, yaitu usia 20-40 tahun.
"Kami juga melihat di kuartal III/2022 sebanyak 56 persen property seeker yang menginginkan rumah di atas Rp1 miliar," ujarnya.
Baca Juga
Optimisme tersebut didukung oleh proyeksi makro ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), dari sisi permintaan, konsumsi rumah tangga masih tumbuh 5,39 persen (year-on-year/yoy).
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Avilianni menambahkan, Indonesia diuntungkan dengan keberadaan 70 persen usia produktif, yakni dikisaran 18-40 tahun yang membutuhkan rumah, makan, dan pariwisata sebagai kebutuhan pokok.
"Kita sampai dengan 2035 itu adalah masa di mana usai produktif itu jadi inti. Setelah 2035 memang pemerintah harus membangun generasi baru agar tidak mengalami masa aging," ujarnya.
Avi meyakini bahwa faktor demografi sangat berpengaruh dengan pertumbuhan ekonomi, kemampuan penyerapan konsumsi di suatu negara.
Dia mencontohkan, China yang saat ini mulai memberlakukan kebijakan tunjangan untuk dua anak. Sebab, pemerintah China mulai khawatir suatu waktu generasinya didominasi oleh lanjut usia (lansia).
"China sudah mulai, dengan tunjangan dua anak. Mereka takut generasi tua semua, maka ekonomi pun turun," terangnya.