Bisnis.com, JAKARTA - Masih rendahnya pengembangan dan pemanfaatan panas bumi sebagai sumber energi pembangkit listrik di Indonesia menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah, apalagi potensi yang dimiliki mencapai sekitar 40 persen dari total sumber energi itu yang ada di dunia.
Kendati potensinya mencapai 23,76 gigawatt (GW), masih ada sejumlah tantangan yang dihadapi pemerintah dalam upaya pengembangan pembangkit listrik berbasis panas bumi, misalnya pembangunan yang membutuhkan waktu lama.
Tak hanya soal potensi panas bumi, terdapat pula informasi komprehensif lainnya yang tersaji di lama BisnisIndonesia.id pada Jumat (16/12/2022). Berikut di antaranya:
1. Ujian Konsistensi Pemerintah Mempercantik Investasi Panas Bumi
Dengan potensi yang mencapai 23,76 gigawatt (GW) seperti kajian Think Geo Energy pada 2020, panas bumi seharusnya sudah dimanfaatkan dengan optimal untuk mencapai target netral karbon pada 2060.
Di sisi lain, perubahan iklim telah mendorong negara-negara di dunia untuk melakukan sekaligus menggencarkan kebijakan transisi energi dengan mengedepankan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT), tak terkecuali panas bumi.
Di Indonesia, pemerintah telah berkomitmen akan mengurangi emisi CO2 sebanyak 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional untuk mencapai net zero emission pada 2060, sesuai dengan Nationally Determined Contribution (NDC).
2. Perang Dagang AS – China, Bersaing Kuasai Teknologi Tinggi
AS dan China tak ubahnya dua siput yang berlomba di ruas jalan tol yang panjang menuju perdamaian. AS dan China berkompetisi sepanjang waktu. Sulit untuk memperkirakan kapan persaingan dalam bentuk perang atau proteksi dagang kedua negara akan berakhir.
Belakangan, perang dagang berlangsung dalam bentuk proteksi AS agar China tidak dapat mengakses micro chip berteknologi tinggi.
Bahkan, AS dikabarkan bersiap untuk memasukkan lebih dari 30 perusahaan China ke dalam daftar hitam perdagangan yang dikenal dengan sebutan “Entity List”. Seperti dilaporkan kaohooninternational.com, Yangtze Memory Technologies (YMTC) termasuk yang akan dijebloskan ke dalam daftar hitam tersebut.
3. Mengawal Manufaktur Hadapi Tantangan Pada 2023
Tantangan bagi geliat industri manufaktur bakal datang dari segala arah, baik internal maupun eksternal. Prospek resesi global, masih membanjirnya produk impor, dan kenaikan upah bakal menghantui kinerja sektor dengan kontribusi terbesar bagi pertumbuhan ekonomi ini.
Sejumlah tantangan telah siap menanti industri manufaktur pada tahun depan. Lesunya pasar ekspor utama seperti Amerika Serikat dan Eropa akibat guncangan ekonomi telah membuat pelaku usaha dalam negeri mulai kalang kabut.
Hal itu menjadi salah satu pemicu badai pemutusan hubungan kerja (PHK), seperti yang belum lama ini menimpa puluhan ribu tenaga kerja industri tekstil di berbagai daerah.
4. 2023 Tahun Politik & Isu Resesi, Properti Untung Atau Buntung?
Menyongsong Tahun 2023 yang sebentar lagi berada di depan mata memang menjadi suatu kekhawatiran tersendiri. Berbagai macam sentimen negatif diproyeksikan akan mewarnai kondisi tahun depan.
Hal itu mulai dari kenaikan suku bunga Bank Indonesia 7 Days Reverse Repo Rate (BI 7DRR) yang berada di level 5,25 persen saat ini diproyeksikan akan mengerek bunga kredit perbankan di tahun depan, isu ancaman resesi global, belum adanya keberlanjutan stimulus Pajak Pertambahan Nilai yang Ditanggung Pemerintah (PPN DTP), dan inflasi yang tinggi.
Ditambah lagi, tahun depan juga memiliki kekhawatiran tersendiri karena mulai masuknya tahun politik. Sejumlah hal itu membuat para pengembang properti pun khawatir. Terlebih, biasanya tahun politik menjadi tahun dimana para pembeli properti hunian menjadi wait and see dan juga masyarakat menahan spending belanja.
5. Misi MUFG Tambah Jangkauan Tentakel di Fintech Jack Ma
Konglomerasi keuangan asal Jepang, Mitsubishi UFJ Financial Group Inc. (MUFG) semakin memperlebar jangkauan tentakelnya di Indonesia, khususnya di klaster finansial teknologi atau fintech.
Dalam hal ini, MUFG dikabarkan dalam pembicaraan untuk menginvestasikan senilai US$200 juta di Akulaku Inc, pelaku fintech milik Ant Group di bawah sokongan Jack Ma.
Melansir dari Bloomberg pada Kamis (15/12/2022), grup keuangan Jepang itu menyatakan pihaknya ingin memperluas kehadirannya di Indonesia. Dikabarkan Bloomberg, pendanaan tersebut dapat memberi Akuaku penilaian sebesar US$1,5 miliar atau setara dengan Rp23 triliun. Pertimbangan tersebut saat ini sedang berlangsung.