Bisnis.com, JAKARTA — Indonesian Mining Association (IMA) meminta pemerintah untuk menyiapkan dokumen banding yang kuat selepas putusan panel Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menyatakan Indonesia melanggar ketentuan terkait larangan ekspor nikel.
Pelaksana Harian Direktur Eksekutif IMA, Djoko Widajatno, mengatakan pemerintah mesti membuktikan larangan ekspor bijih nikel sejak awal 2020 itu ditujukkan untuk pemenuhan hilirisasi mineral di dalam negeri. Sekalipun, Djoko mengatakan, sebagian besar pengolahan bijih nikel dilakukan oleh perusahaan asal China.
“Pemerintah harus dapat memberikan bukti kita membatasi ekspor untuk memenuhi hilirisasi di Indonesia. Walaupun dilakukan oleh smelter dari China,” kata Djoko saat dihubungi, Selasa (26/11/2022).
Di sisi lain, Djoko memastikan, kegiatan hilirisasi nikel dan mineral strategis lainnya tidak bakal terganggu lantaran sinyal negatif dari putusan panel WTO.
Lewat kesepakatan Bali Compendium, dia menggarisbawahi, setiap negara yang memiliki kekuatan sumber daya alam spesifik berhak mengoptimalkan hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah dalam negeri mereka.
Menurut Djoko, sebagian besar pelaku usaha belakangan cenderung berminat untuk melakukan pengolahan lebih lanjut sejumlah mineral selepas komitmen pemerintah mengikat nilai tambah hasil tambang di dalam negeri.
“Tetapi harus belajar dari larangan ekspor bijih nikel, IMA mendukung program pemerintah dengan hilirisasi kita peroleh pendapatan lebih banyak dan membuka lapangan pekerjaan,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan pemerintah bakal mengajukan banding untuk putusan panel WTO yang belakangan menyatakan Indonesia melanggar ketentuan terkait dengan kebijakan larangan ekspor dan hilirisasi bijih nikel dalam negeri.
Adapun, laporan final panel pada 17 Oktober 2022 lalu menyatakan Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dalam sengketa yang terdaftar pada dispute settlement (DS) 592 tersebut.
Pembelaan Pemerintah Indonesia lewat ketentuan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994 berkaitan dengan keterbatasan jumlah cadangan nikel nasional juga ditolak badan pengatur perdagangan internasional tersebut.
“Pemerintah berpandangan bahwa keputusan panel belum memiliki kekuatan hukum yang tetap sehingga masih terdapat peluang banding,” kata Arifin saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VII di DPR, Jakarta, Senin (21/11/2022).
Arifin mengatakan, kementeriannya bakal melanjutkan upaya hilirisasi lewat investasi yang lebih intensif pada pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter bijih nikel domestik.
Nantinya, laporan final dari putusan panel itu akan didistribusikan kepada anggota WTO lainnya pada 30 November 2022 mendatang. Setelah itu, putusan panel itu bakal dimasukkan ke dalam agenda dispute settlement body (DSB) pada 20 Desember 2022.