Bisnis.com, JAKARTA - Perusahaan teknologi seperti Gojek, Grab, dan Maxim tengah wait and see terkait dengan adanya wacana menjadikan mereka sebagai perusahaan transportasi. Hal tersebut sejalan dengan penilaian DPR terhadap urgensi payung hukum layanan ride-hailing sepeda motor atau ojek online.
Sebenarnya, legalitas mengenai ojek online sudah lama menjadi sorotan sejak moda transportasi itu berkembang kurang dari 10 tahun yang lalu. Jika mengacu pada Undang-Undang (UU) No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, ojek atau sepeda motor memang tidak dikategorikan sebagai transportasi umum.
Pada Pasal 138 ayat 3 UU LLAJ, dijelaskan bahwa angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum. Kemudian, pasal 140 selanjutnya menjelaskan bahwa angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dibedakan ke dua jenis yakni dalam trayek dan tidak dalam trayek.
Selanjutnya pada pasal 151, pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek terdiri dari angkutan orang dengan menggunakan taksi; dengan tujuan tertentu; untuk keperluan wisata; dan di kawasan tertentu.
Tidak tercantumnya angkutan sepeda motor sebagai kendaraan atau angkutan umum menjadi latar belakang DPR kukuh mempermasalahkan legalitas layanan ojek online.
Akan tetapi, kebutuhan yang cukup masif terhadap ojek online sebagai salah satu opsi transportasi masyarakat saat ini menjadikannya diakui secara de facto, walaupun kini masih belum diakui secara de jure.
Baca Juga
Berdasarkan survei Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan (Balitbang Kemenhub) September 2022, kebanyakan masyarakat menggunakan ojek online dari rumah (70,62 persen) ke tempat kerja (29,57 persen).
Berdasarkan demografinya, masyarakat pengguna jasa ojek online didominasi oleh pria (53 persen), pekerjaan sebagai karyawan swasta (35,40 persen), dan pendapatan per bulan terbanyak di bawah Rp3 juta.
"Roda dua itu di sesuai dengan Undang-Undang [LLAJ] tidak bisa dikatakan sebagai alat transportasi umum. Tapi, karena kebutuhan masyarakat, pemerintah membuat kebijakan, dan kami menerima sebentar sambil menunggu undang-undangnya. Ini kami sudah masuk jelang tahun ketiga membahas bagaimana solusinya," ujar Anggota Komisi V Fraksi Golkar Hamka Baco Kady pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan sejumlah perusahaan aplikasi, Senin (7/11/2022).
Saat ini, perusahaan seperti Gojek, Grab, dan Maxim bukan dikategorikan sebagai perusahaan transportasi, melainkan Penyelenggaran Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.80/2019.
Hal tersebut yang menjadi sorotan sehingga dinilai mendesak untuk diatur mengenai layanan transportasi yang diselenggarakan oleh perusahaan aplikasi.
"Secara formalitas, aplikasi ini legal tapi kegiatannya ilegal karena menggunakan kendaraan roda dua sebagai kendaraan umum. Saya tidak menyalahkan mereka, tapi ini menjadi alasan kuat bagi kita unutk segera direvisi UU LLAJ," ujar Anggota Komisi V DPR Suryadi Jaya Purnama.
Oleh sebab itu, muncul wacana di ruang parlemen terkait dengan menyulap perusahaan aplikasi seperti Gojek, Grab, dan Maxim menjadi perusahaan transportasi.
"Sekarang masih menjadi aplikator [perusahaan aplikasi], masih mendapatkan izin dari Kominfo dan belum masuk sebagai perusahaan transportasi. Pertanyaannya, setujukah ketiga perusahaan ini pada suatu saat menjadi perusahaan transportasi? Apakah bisa suatu ketika plat mobilnya menjadi warna kuning?," ujar Wakil Ketua Komisi V DPR Ridwan Bae kepada Gojek, Grab, dan Maxim yang hadir pada rapat tersebut.
Respons dari ketiga perusahaan pun mirip sampai dengan sama. Kendati menyatakan akan mengikuti regulasi yang ada, ketiganya menilai bahwa menyulap perusahaan teknologi menjadi perusahaan transportasi perlu kajian lebih dalam lagi.
"Tentunya ini kan proses Revisi UU LLAJ masih berjalan dan kami yakin ada proses pelibatan stakeholders termasuk aplikator. Saya yakin kita bersama akan mengambil keputusan yang paling bijak dan baik untuk bersama," jawab Head of Public Policy and Government Relations PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. Shinto Nugroho.
Senada dengan Gojek, Grab Indonesia menilai bahwa perusahaannya merupakan bagian dari ekosistem perusahaan teknologi. Sehingga, merubahnya menjadi perusahaan transportasi akan membutuhkan pembahasan lebih lanjut.
"Kami percaya bahwa kami adalah bagian dari industri teknologi. Tapi, tentunya kami menyerahkan kepada dewan di sini untuk membantu mencari solusi. Yang kamri harapkan apabila memungkinkan agar kami dilibatkan," ujar Presiden Direktur Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata pada kesempatan yang sama.
Bagi PT Teknologi Perdana Indonesia atau Maxim, perubahan menjadi perusahaan transportasi tidak bagus untuk bisnis perusahaan aplikasi. Pesaing Grab dan Gojek itu menilai wacana perubahan menjadi perusahaan transportasi perlu dipertanyakan.
"Secara resmi kami akan mengikuti apabila perusahaan aplikasi ingin diregulasi sebagai perusahaan transportasi. Tapi itu perlu dipertanyakan. Kami tidak memiliki armada sendiri, maka itu secara bisnis wacana tersebut perlu dipertanyakan," ujar CEO Maxim Vadim Iunusov di sela-sela rapat DPR.
Nada Pesimis
Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menilai wacana untuk merubah Gojek, Grab, Maxim, hingga perusahaan aplikasi lainnya menjadi perusahaan transportasi bukan hal terpenting.
Menurut Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Djoko Setijowarno, memahami perilaku bisnis perusahaan-perusaahaan tersebut lebih mendesak untuk dilakukan oleh DPR maupun pemerintah.
Djoko menegaskan ketaatan dan kepatuhan perusahaan teknologi itu menjadi hal utama demi menjaga keberlangsungan bisnis tersebut.
"Mereka [aplikator] pada dasarnya tidak pernah peduli dengan bisnis transportasi. Ini yang menjadi sebenarnya pegangan sikap untuk menentukan kebijakan bagi mereka [aplikator]," ujarnya, Jumat (11/11/2022).
Selain itu, Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) menilai DPR seharusnya tidak hanya fokus untuk mengawasi perusahaan aplikasi, namun juga pemerintah sebagai regulator. Misalnya terkait dengan regulasi tarif, maka Kemenhub dinilai perlu ikut diawasi.
Ketua SPAI Lily Pujiati menilai pemerintah abai dalam memantau kepatuhan perusahaan aplikasi dalam mengikuti regulasi tarif yang tertuang pada Keputusan Menteri Perhubungan (KM) No.KP 667/2022. Khususnya, terkait dengan potongan biaya sewa aplikasi maksimal 15 persen.
Lily menyebut banyak perusahaan aplikasi yang memotong bahkan sebesar 20 persen sampai dengan 40 persen.
"Demikian juga Presiden untuk memerintahkan para Menterinya untuk mengawasi dan memberikan sanksi kepada aplikator yang melanggar hukum dan masih menerapkan status mitra terhadap pengemudi ojol," terangnya.