Bisnis.com, JAKARTA - Pada 2014, Kementerian BUMN mengambil langkah strategis yaitu melakukan transformasi tahap pertama PTPN group dengan menjadikan PTPN III sebagai induk holding yang membawahi 13 PTPN. Langkah ini dilakukan karena sebelumnya, PTPN group yang terdiri atas 14 PTPN dan puluhan anak cucu perusahaan dinilai berjalan sendiri-sendiri, skala usaha kecil-kecil dan produknya beragam. Akibatnya, masing -masing PTPN sulit bersaing bahkan banyak yang merugi dan kesulitan cash flow.
Namun, pembentukan holding tidak cukup karena pada dasarnya model bisnisnya belum berubah secara fundamental, sehingga belum dapat diandalkan untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Untuk menghadirkan PTPN yang lebih berdaya saing, transformasi gelombang kedua pun dimulai sejak 2020. Melalui kajian komprehensif, Kementerian BUMN dan Direksi PTPN Group memutuskan bahwa perusahaan hanya fokus pada empat komoditas, yakni sawit, karet, tebu/gula, teh, dan kopi.
Model bisnis yang dikembangkan berbasis product-line masing-masing komoditas prioritas. Salah satunya adalah sawit dengan nama Palm Co. Model bisnis Palm Co dibuat terintegrasi vertical product-line berbasis sawit dari hulu (upstream), on-farm dan hilir (downstream) dalam satu perusahaan.
Untuk membentuk Palm Co, sebanyak 10 PTPN yang selama ini melakukan usaha perkebunan sawit, dimerger on-farm-nya ke Palm Co. Lalu, melalui proses beckward integrative growth, industri pembibitan kelapa sawit yang selama ini terpisah dengan perkebunan sawit, yaitu pembibitan sawit di Marihat dan di Adolina, dengan pabrik pupuk dimerger menjadi hulu Palm Co.
Kemudian, melalui proses forward integrative growth, pabrik minyak goreng dan pengembangan industri oleokimia, biofuel dimerger ke Palm Co sebagai mata rantai hilir. Selanjutnya, melalui proses co-integrative growth, riset sawit di Pusat Penelitian Kelapa Sawit juga digabung ke dalam Palm Co sebagai driver inovasi. Integrasi penelitian dan pengembangan (R&D) sawit mencerminkan bahwa bisnis Palm Co akan digerakkan oleh inovasi (innovation-driven).
Dengan model bisnis demikian, Palm Co akan menjadi satu perusahaan BUMN sawit terbesar di dunia, yakni luas kebun sekitar 500.000-an hektare (ha) yang terintegrasi dengan hulu (bibit, pupuk) dan hilir (industri oleofood, oleokimia, biofuel) dan didukung riset-inovasi yang kuat.
Baca Juga
Palm Co ditargetkan akan menjadi produsen minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) terbesar dunia. Target ini tidak berlebihan. Dengan mengelola luas areal sawit PTPN grup sekitar 570.000 ha, Palm Co telah menjadi perusahaan sawit terbesar di dunia. Dengan produktivitas minyak saat ini sekitar 4 ton minyak per hektare berarti produksi minyak sawit sekitar 2,2 juta ton per tahun.
Saat ini dan ke depan, Indonesia merupakan produsen dan sekaligus konsumen minyak sawit terbesar dunia. Oleh karena itu menyeimbangkan kepentingan domestik dengan kepentingan devisa (ekspor) harus dilakukan.
Dalam memastikan ketahanan pangan dan energi di dalam negeri, Palm Co akan kembali memainkan peran penting sebagaimana pernah terjadi pada periode 1970—1990. Pada waktu itu semua kebutuhan minyak sawit untuk minyak goreng domestik 70%—90% di pasok BUMN Sawit.
Saat ini, dengan kebutuhan minyak goreng domestik sekitar 6—7 juta ton per tahun memang membutuhkan CPO sekitar 8 juta ton per tahun. Sementara itu, produksi sendiri Palm Co saat ini baru 2,2 juta ton dan diproyeksikan hanya 4 juta ton ke depan.
Namun, jangan lupa, di sekitar PTPN saat ini ada 6,8 juta hektare sawit rakyat yang menghasilkan sekitar 18 juta ton CPO per tahun. Melalui kemitraan antara Palm Co dengan sawit rakyat bisa menghasilkan sekitar 20 juta ton minyak sawit.
Dengan jumlah minyak sebesar itu, maka lebih dari 50% kebutuhan minyak goreng domestik dan kebutuhan biodiesel atau bensin sawit dapat dipasok oleh Palm Co. Ketersediaan (availability) dan keterjangkauan (affordability) minyak goreng maupun biofuel akan terjamin. Sehingga, pelaku sawit swasta dapat fokus ke pasar dunia untuk menghasilkan devisa negara.
PTPN grup sedang mentransformasikan diri menjadi Palm Co untuk menggarap bisnis sawit. Dalam proses transformasi tersebut bukan sekadar restrukturisasi bisnis atau merger membentuk Palm Co, tetapi dilakukan beriringan dengan peningkatan produktivitas, efisiensi produksi untuk menurunkan biaya pokok produksi, serta hilirisasi secara simultan. Dengan kata lain profitisasi berjalan simultan dan sudah dimulai sejak tahun 2020.
Kekuatan Palm Co, antara lain, pertama, Palm Co merupakan bisnis sawit yang produknya baik oleofood, oleokimia, biofuel sangat prospektif baik di pasar domestik maupun internasional. Kedua, perkebunan sawit Palm Co juga menghasilkan jasa lingkungan, yakni carbon sink yang dapat diperdagangkan dalam carbon trade baik domestik maupun internasional.
Ketiga, bisnis yang terintegrasi dari hulu sampai ke hilir umumnya makin efisien dan pasti lebih efisien dibandingkan bisnis yang tersekat sekat. Keempat, dalam Palm Co, terdapat industri pembibitan kelapa sawit terbesar dan termaju di kawasan Asia, bahkan dunia.
Kelima, dalam Palm Co terdapat riset-inovasi tertua dan terkuat di Indonesia, bahkan di dunia, sehingga kebutuhan inovasi menjadi sumber pertumbuhan bagi Palm Co. Keenam, Palm Co merupakan BUMN yang hampir bersifat zero risk.
Jika dikaji dari prospek industri sawit, berdasarkan proyeksi Oil World (2021) dan MPOB (2021) sejak 2020 sampai dengan paling tidak 2050, pasar minyak nabati dunia mengalami excess demand, di mana pertumbuhan konsumsi lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan produksi.