Bisnis.com, JAKARTA - Dalam laporan World Economic Outlook edisi Oktober 2022, Dana Moneter Internasional (IMF) kembali menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2023 menjadi 2,7 persen, dari yang sebelumnya 2,9 persen pada Juli 2022. IMF juga memprediksi 31 negara atau 43 persen perekonomian dunia akan mengalami resesi ekonomi pada 2023.
Indonesia juga tidak luput dari tekanan inflasi. Diawali dari kenaikan harga pangan yang melonjak tinggi, kemudian tekanan inflasi diperkirakan kian menguat setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mulai 3 September 2022 guna menekan anggaran subsidi BBM.
Namun, tekanan inflasi di Indonesia berhasil dikendalikan, terlihat dari realisasi inflasi yang saat ini lebih rendah dari perkiraan. Permasalahan subsidi BBM sesungguhnya menyandera neraca fiskal sejak rezim orde baru hingga kini.
Pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, subsidi BBM memang sempat minim karena rendahnya harga minyak dunia di kisaran US$20–US$30 barel. Namun, tatkala harga minyak merangkak naik, pemerintah kembali memberikan subsidi dan terus meningkat untuk menjaga daya beli masyarakat. Akibatnya, ruang fiskal semakin terbatas.
Pada tahun ini saja, anggaran subsidi dan kompensasi BBM telah mencapai Rp502,4 triliun akibat lonjakan harga minyak yang sempat menembus US$100 per barel. Untung saja, kebutuhan dana subsidi tersebut dapat ditutupi karena neraca fiskal mendapat windfall profit dari kenaikan harga komoditas.
Namun, pada 2023 neraca fiskal diperkirakan akan kembali tertekan seiring harga komoditas yang mulai mengendur sejak semester II/2022, sementara harga minyak diproyeksikan masih relatif tinggi. Keterbatasan ruang fiskal kian tinggi karena pemerintah masih harus menanggung beban bunga utang yang juga kian meroket. Sementara itu, prospek ekonomi global yang diperkirakan melambat pada tahun depan akan berdampak pada ekonomi domestik. Kegiatan ekonomi menurun sehingga berimbas pada penerimaan pajak.
Baca Juga
Dari uraian tersebut di atas, dapat ditarik benang merah bahwa salah satu akar masalah dari kerentanan pada neraca fiskal terletak pada ketergantungan Indonesia yang tinggi pada energi fosil untuk menopang kegiatan ekonomi.
Transisi Energi
Oleh karena itu, untuk mengurangi kerentanan neraca fiskal, Indonesia harus melepaskan diri dari ketergantungan pada energi fosil, terutama minyak. Sebagai gambaran kebutuhan minyak mentah mencapai sekitar 1,3 juta barel per hari (bph) sementara produksi minyak mentah dalam negeri sekarang ini baru sekitar 610.000 bph. Ada kekurangan cukup besar yang dipenuhi melalui impor.
Efek sampingnya tentu berupa kebutuhan dolar AS yang besar. Apabila diasumsikan harga minyak mentah dunia per barel sebesar US$90, maka dibutuhkan US$62,1 juta hari atau US$1,86 miliar per bulan.
Terlebih OPEC+ telah memutuskan untuk memotong produksi minyak sebanyak 2 juta bph. Keputusan ini akan membuat harga minyak mentah bertahan pada level tinggi. Indonesia sebagai negara net importir minyak akan makin terdampak. Alokasi subsidi BBM di neraca fiskal akan semakin tinggi.
Apabila pemerintah mengambil keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi untuk mengurangi beban fiskal, maka akan berdampak pada meningkatnya inflasi dan dikhawatirkan dapat menimbulkan gejolak sosial di masyarakat.
Oleh karena itu, Indonesia perlu untuk mengurangi ketergantungan pada minyak melalui transisi ke energi bersih melalui Energi Baru Terbarukan (EBT). EBT merupakan energi hijau, energi yang berasal dari alam dan dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan seperti energi matahari, tenaga angin, arus air, biomassa dan panas bumi.
Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam siaran pers 14 September 2022, bahwa Indonesia memiliki potensi EBT yang sangat melimpah yaitu sekitar 3.000 giga watt. Tentu untuk mewujudkan EBT itu membutuhkan pembiayaan yang besar diperkirakan mencapai Rp77.000 triliun untuk mencapai berbagai target mencapai net-zero emissions pada 2060.
Jumlah tersebut sangat besar dan untuk memenuhi kebutuhan itu dibutuhkan sinergitas dari seluruh pemangku kepentingan. Semua komponen bangsa harus mengambil peran. Pemerintah dapat pula meminta lembaga internasional untuk berperan serta dalam membiayai energi hijau.