Bisnis, BADUNG - Komoditas sawit dinilai dapat menjadi salah satu sektor andalan untuk mempertahankan ekonomi nasional di tengah berbagai tantangan dinamika ekonomi global hingga risiko inflasi. Apalagi, kelapa sawit juga menjadi salah satu komoditas utama pendongkrak ekspor Indonesia.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono mengatakan, setelah terdampak pandemi Covid-19, industri sawit juga masih tak terlepas dari tantangan terkait dinamika perekonomian dunia. Belum lagi persoalan geopolitik, seperti perang Rusia dan Ukraina hingga proyeksi resesi ekonomi tahun depan, membayangi negara-negara produsen minyak kelapa sawit.
Kendati begitu, menurut Joko, persoalan tersebut juga dapat menjadi peluang bagi industri kelapa sawit. Kondisi tersebut di dorong oleh situasi bullish harga minyak kelapa sawit (CPO).
Dia mengatakan, industri kelapa sawit dapat dikatakan mencapai puncak tertinggi pada 2022, khususnya paruh tahun ini ketika harga rata-rata, khususnya pada Maret mencapai US$ 1.800 per metrik ton. Capaian ini menjadi catatan harga tertinggi.
“Ini menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk memainkan peran penting dalam mengarahkan industri karena selalu berdampak pada bagaimana industri akan berjalan,” kata Joko di acara Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2022, Kamis (3/11/2022).
Dari sisi kinerja industri kelapa sawit, hingga September 2022, produksi telah mencapai 37 juta ton dengan ekspor sebanyak 22 juta ton. Sementara itu, estimasi produksi hingga akhir tahun ini kurang lebih mencapai 51,8 juta ton, yang terdiri atas 47 juta ton CPO dan 4,8 juta ton crude palm kernel oil (CPKO), sedangkan untuk ekspor diharapkan dapat mencapai 30 juta ton.
Baca Juga
Joko berharap Pemerintah Indonesia dalam upaya pencegahan resesi ini yang mestinya mendorong komoditas ini punya ketahanan terhadap resesi.
Setali tiga uang, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menambahkan bahwa kelapa sawit menjadi komoditas yang tangguh di masa pandemi. Kontribusi kelapa sawit tidak lepas dari perekonomian Indonesia. Indonesia menguasai sekitar 58 persen pangsa pasar minyak sawit dunia dan memanfaatkan tidak lebih dari 10 persen total land bank global untuk minyak nabati.
Saat ini, Indonesia mampu memproduksi 40 persen dari total minyak nabati dunia. Berdasarkan hasil penelitian, memproduksi 1 ton kelapa sawit hanya membutuhkan lahan seluas 0,3 hektare. Dengan jumlah produksi yang sama, minyak nabati lain seperti minyak rapeseed membutuhkan lahan seluas 1,3 hektare, minyak bunga matahari dengan luas 1,5 hektare, dan minyak kedelai dengan luas 2 hektare.
“Hal ini menjadikan komoditas kelapa sawit lebih unggul dari komoditas pesaing minyak nabati lainnya, yang memiliki produktivitas lebih tinggi, namun lebih sedikit lahan yang digunakan untuk memproduksi kelapa sawit,” kata Airlangga saat memberikan sambutan secara virtual.
Airlangga menegaskan bahwa industri kelapa sawit berkontribusi dalam menopang pemulihan ekonomi. Tidak hanya pada aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial dan lingkungan masyarakat dengan peraturan yang diterapkan secara efektif seperti Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024, yang akan menjadi peta jalan bagi pemerintah dan pemangku kepentingan terkait, yang bertujuan untuk menyeimbangkan pembangunan sosial ekonomi dan pelestarian lingkungan.
Selanjutnya, Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia untuk memastikan dan meningkatkan pengelolaan serta pengembangan perkebunan kelapa sawit yang sesuai dengan prinsip dan kriteria ISPO, meningkatkan penerimaan dan daya saing kelapa sawit berkelanjutan, produk di pasar nasional dan internasional, serta memperkuat upaya percepatan penurunan emisi gas rumah kaca.