Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Hendra Sinadia

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia

Hendra Sinadia adalah Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia. Selain itu, dia juga adalah Co-founder dan Direktur Indonesia Mining Institute.

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: Nasib Batu Bara Setelah Perpres 112

Perpres 112 melarang pengembangan PLTU baru dan percepatan pengakhiran waktu operasi (early retirement) PLTU.
Ilustrasi - Pembangunan rel kereta batu bara./Antara - Kristian Ali
Ilustrasi - Pembangunan rel kereta batu bara./Antara - Kristian Ali

Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Jokowi telah menandatangani Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik atau Perpres 112 pada 13 September 2022.

Selain mengatur percepatan target bauran energi terbarukan, Perpres itu secara tegas mengatur pembatasan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara yang selama ini menjadi tulang punggung ketahanan energi nasional. Oleh karena itu, menarik untuk dianalisis masa depan komoditas batu bara pascapenerbitan Perpres 112.

Perpres 112 melarang pengembangan PLTU baru dan percepatan pengakhiran waktu operasi (early retirement) PLTU. Larangan terhadap pengembangan PLTU batu bara dikecualikan bagi PLTU yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebelum berlakunya Perpres 112.

PROSPEK BATU BARA

Indonesia sejak 10 tahun terakhir menjadi eksportir batu bara termal terbesar didunia dari segi volume. Diperkirakan dominasi itu masih berlanjut hingga satu atau bahkan dua dekade ke depan. Hal itu seiring dengan permintaan yang diperkirakan masih akan menguat dari negara-negara Asia Pasifik hingga awal 2030 kemudian berangsur berkurang. Porsi ekspor sejauh ini masih 75% dari produksi nasional meski pemanfaatan batu bara domestik untuk industri (nonkelistrikan) juga menunjukkan peningkatan.

Terkait dengan prospek ekspor, potensi permintaan dari negara-negara importir utama seperti China dan India diproyeksikan masih relatif tinggi paling tidak hingga 5—7 tahun ke depan dan secara bertahap berkurang seiring dengan peningkatan output produksi domestik mereka dan juga komitmen pengurangan GRK. Demikian pula potensi ekspor ke negara-negara Asia Tenggara yang sejauh ini berkisar 21%—22% dari total ekspor nasional.

Peningkatan pemanfaatan batu bara bagi industri juga menarik dicermati. Sejauh ini, dan diperkirakan hingga ke depannya, batu bara masih menjadi sumber energi andalan bagi industri domestik seperti smelter, semen, kertas, pupuk, tekstil, pertambangan, keramik, dll. Penetrasi energi terbarukan masih sangat kecil sehingga peran batu bara terhadap industri masih penting. Bahkan, tren penggunaan batu bara makin meningkat seiring dengan pengembangan sumber energi bersih, seperti misalnya ekosistem kendaraan bermotor listrik (EV), dll.

Untuk dampak secara jangka panjang terhadap komoditas batu bara nasional, Pemerintah nampaknya telah memperhitungkan secara saksama larangan pengembangan PLTU baru dengan beberapa pengecualian serta mempertimbangkan aspek cadangan dan perizinan.

Dari segi perizinan, sekitar 65%—70% produksi nasional saat ini berasal dari perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus-Kelanjutan Operasi Produksi (eks-PKP2B) yang jangka waktu kontraknya telah/dan akan berakhir serta dapat diperpanjang maksimal 2x10 tahun.

Perpanjangan 2x10 tahun tersebut juga dapat diberikan kepada pemegang IUP. Tambahan jangka waktu usaha dapat diberikan bagi pemegang IUPK-KOP yang membangun fasilitas peningkatan nilai tambah (PNT) batu bara.

Dengan mempertimbangkan hal itu, dapat dikatakan bahwa periode 2041—2050, produksi batu bara nasional akan berkurang drastis seiring dengan berakhirnya jangka waktu izin pemegang IUPK-KOP. Meski demikian, seiring dengan makin berkembangnya EBT dan dengan asumsi makin banyak PLTU yang berhasil dilakukan upaya “pensiun dini”, tetapi pasokan untuk kebutuhan industri kemungkinan masih tetap ada.

Dalam dua dekade ke depan, dengan asumsi penetrasi EBT sebagai sumber energi industri belum signifikan, diperkirakan permintaan batu bara untuk kebutuhan industri masih kuat. Perkembangan pembangunan smelter nikel untuk mendukung pembangunan ekosistem EV, membutuhkan pasokan batu bara.

Di sisi lain, ada kemungkinan permintaan ekspor batu bara periode 2041—2050 masih terbuka meski volumenya akan jauh berkurang dibandingkan era ekspor saat ini. Tentu saja negara-negara yang telah berkomitmen dalam mencapai target net zero emission (NZE) akan mengurangi secara gradual (coal phasedown) penggunaan batu bara mereka. Namun, tidak tertutup kemungkinan permintaan ekspor masih ada meski dengan jumlah yang tidak signifikan.

Oleh karena itu, pelaku industri pertambangan batu bara menyambut baik terbitnya Perpres 112 karena juga membuka peluang investasi pengembangan EBT. Inisiatif investasi yang dilakukan oleh beberapa grup usaha besar yang mengandalkan income mereka dari penambangan batu bara menjadi indikator yang nyata bahwa transformasi menuju ke energi yang lebih bersih sedang berlangsung.

Kepastian hukum dan insentif bagi fiskal dan non-fiskal sangat dibutuhkan oleh pelaku usaha dalam melakukan transformasi di era transisi energi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Hendra Sinadia
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper