Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Inflasi Jepang Tembus 3 Persen pada September 2022, Tertinggi Sejak 1991

Inflasi September menjadi yang tertinggi di Jepang sejak 1991 di luar lonjakan tahun 2014 ketika harga dipengaruhi oleh kenaikan pajak penjualan.
Seorang turis mendatangi salah satu destinasi wisata di Jepang/Freepik
Seorang turis mendatangi salah satu destinasi wisata di Jepang/Freepik

Bisnis.com, JAKARTA - Inflasi Jepang melonjak hingga 3 persen pada bulan Desember 2022, tertinggi dalam tiga dekade terakhir.

Dilansir dari Bloomberg pada Jumat (21/10/2022), Biro Statistik Jepang melaporkan indeks harga konsumen (IHK) inti bulan September neik 3 persen dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy), sejalan dengan ekspektasi analis.

Inflasi tahunan ini meningkat dari 2,8 persen (yoy) pada bulan Agustus 2022, sekaligus merupakan yang tertinggi di Jepang sejak 1991 di luar lonjakan tahun 2014 ketika harga dipengaruhi oleh kenaikan pajak penjualan.

Lonjakan laju inflasi menjadi semakin cepat karena pasar meningkatkan ekspektasi mereka terhadap kebijakan Bank of Japan (BOJ).

Terlepas dari spekulasi pasar dan kenaikan laju inflasi yang melampaui target 2 persen BOJ, para ekonom memperkirakan bank sentral Jepang tetap mempertahankan kebijakannya yang sangat longgar dalam pertemuan kebijakan pekan depan.

Gubernur BOJ Haruhiko Kuroda diperkirakan mempertahankan pendapatnya bahwa pendapatan masyarakat perlu meningkat sebelum bank sentral menekan inflasi menuju targetnya. Kuroda telah berulang kali mengungkapkan lonjakan inflasi terjadi akibat lonjakan biaya impor energi yang akan hilang di tahun mendatang.

Energi tetap menjadi kontributor terbesar kenaikan harga dari tahun sebelumnya. Selain itu, kenaikan harga pada makanan olahan dan peralatan rumah tangga juga menjadi penyebab percepatan inflasi bulan lalu.

Kepala ekonom Daiwa Securities Co Mari Iwashita memperkirakan inflasi meningkat 3,3 hingga 3,4 persen pada Oktober karena banyak harga pangan, telepon, dan jasa naik.

"BOJ sepertinya fokus terhadap risiko penurunan di luar negeri untuk menyimpulkan bahwa mereka perlu melanjutkan pelonggaran moneter. Ini mengejutkan karena mereka telah membuat keputusan untuk mempertahankan pelonggaran." jelasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper