Bisnis.com, JAKARTA — Posisi cadangan devisa Indonesia turun dari US$132,2 miliar pada Agustus 2022 menjadi US$130,8 miliar pada September 2022.
Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan posisi cadangan devisa tersebut merupakan yang terendah sejak Mei 2022.
Penurunan cadangan devisa pada September 2022 dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan perlunya stabilisasi rupiah sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
Sebagaimana diketahui, sebagian besar bank sentral di dunia secara agresif menaikkan suku bunga untuk menahan tekanan inflasi yang tinggi, terutama the Fed dengan kenaikan suku bunga sebesar 300 basis poin.
Pada September 2022, Indonesia mencatatkan arus keluar modal keluar asing secara neto sebesar Rp20,6 triliun. Sejalan dengan itu, nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 2,6 persen pada September 2022.
Andry memperkirakan, posisi cadangan devisa Indonesia ke depan akan tetap kuat, mencapai kisaran US$130—US$140 miliar.
Baca Juga
“Kami mempertahankan perkiraan kami bahwa cadangan devisa akan berada di sekitar US$130—US$140 miliar, dengan kecenderungan bias ke bawah pada akhir 2022,” katanya, Jumat (7/10/2022).
Dia memperkirakan, surplus barang dalam neraca transaksi berjalan cenderung menyempit ke depan, dikarenakan kinerja impor yang menyusul ekspor.
Selain itu, tren kenaikan sebagian besar harga komoditas terlihat mereda di tengah kekhawatiran resesi global sehingga dapat melemahkan permintaan global, sehingga berpotensi menahan kinerja ekspor pada kuartal IV/2022.
Dengan kondisi ini, neraca transaksi berjalan 2022 diperkirakan berpotensi mencatat surplus 0,45 persen dari PDB. Hal ini kata Andry akan mendukung cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar rupiah.
Dia menilai upaya pemerintah dan BI untuk menerapkan kembali sanksi bagi eksportir yang tidak menempatkan devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri juga dapat semakin memperkuat stabilitas.
Di sisi lain, dia mengatakan bahwa neraca modal dan finansial pada kuartal IV/2022 akan terus menghadapi beberapa risiko penurunan yang mungkin menutupi potensi masuknya aliran modal.
Hal ini dipengaruhi oleh normalisasi moneter global yang lebih agresif, sehingga memicu sentimen risk-off di pasar obligasi negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Selain itu, ada juga kebutuhan pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo yang akan menyebabkan investasi lain membukukan defisit neto. Sumber arus masuk diperkirakan berasal dari investasi langsung dan pasar saham, didorong oleh pemulihan ekonomi domestik yang solid,” jelasnya.