Bisnis.com, JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memproyeksikan inflasi ke depannya masih akan tinggi setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada awal September lalu.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Harga Konsumen (IHK) atau inflasi tahunan pada September 2022 mencapai 5,95 persen (year-on-year/yoy). Pada September 2022, inflasi tercatat 1,17 persen (mtm) setelah pada bulan sebelumnya mengalami deflasi sebesar 0,21 persen (mtm).
Wakil Ketua Kadin Indonesia Shinta Widjaja Kamdani mengatakan meskipun inflasi tersebut sejatinya tidak mengagetkan pengusaha, tapi tidak ada yang banyak bisa dilakukan terhadap efek negatifnya.
Dia membeberkan kebijakan kenaikan harga BBM yang berbarengan dengan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) jadi 4,25 persen, pada saat yang sama ketika kondisi pasar global masih belum menciptakan normalisasi harga komoditas akan memicu inflasi yang lebih tinggi di masyarakat.
Shinta mengatakan efek kenaikan harga BBM dirasakan oleh hampir semua jenis industri dan semua output industri.
“Hanya industri-industri yang punya profit margin ekstra besar yang bisa menahan kenaikan beban tersebut. Untuk industri-industri yang profit marginnya terbatas atau usaha skala UMKM, sudah hampir pasti akan melakukan passing kenaikan beban tersebut ke pasar [menaikkan harga jual] sehingga inflasi di pasar menjadi lebih tinggi,” kata Shinta saat dihubungi, Selasa (4/10/2022).
Shinta menjelaskan, inflasi tersebut sudah hampir pasti terjadi meskipun perusahaan berupaya maksimal untuk menekan kenaikan harga dengan cara lain seperti peningkatan efisiensi usaha.
“Ke depannya, kami perkirakan inflasi masih akan terus tinggi, khususnya karena faktor dorongan peningkatan demand energi dari negara-negara maju seperti Uni Eropa di musim dingin sehingga harga komoditas migas dan batu bara akan berpotensi tinggi untuk kembali terdongkrak naik seperti pada pertengahan tahun,” ujarnya.
Menurutnya, apabila pemerintah kembali menaikkan harga BBM dan BI kembali menaikkan suku bunga acuan, maka inflasi hampir dapat dipastikan akan semakin tinggi.
“Kami rasa sudah hampir pasti inflasi akan lebih dari 4 persen, kita akan mengalami stagflasi dan di tahun depan. Stagnasi pertumbuhan ekonomi akan menjadi lebih parah,” imbuhnya.
Untuk itu, Shinta berharap pemerintah dapat menahan kenaikan harga pasar lebih lanjut, khususnya pada harga-harga barang yang dikontrol atau dimonitor oleh pemerintah.
“Perlu dilakukan intervensi pasar, baik di sisi suplai, dengan memastikan kecukupan suplai dan kelancaran distribusi, maupun di sisi demand yaitu dengan kontrol terhadap konsumsi dan subsidi secara terarah kepada masyarakat kelas menengah bawah yang rentan mengalami extreme poverty di tengah kenaikan inflasi,” ujar CEO Sintesa Group itu.
Di sisi makro, Shinta menilai pemerintah perlu mengupayakan penguatan nilai tukar yang lebih signifikan dan perlu ada stimulus-stimulus produktif yang lebih baik, khususnya dalam hal distribusi kredit usaha yang terjangkau.
“Di sisi lain, pemerintah juga perlu lebih fokus meningkatkan produktifitas ekspor dan inbound investasi untuk memastikan kecukupan ruang fiskal dari potensi-potensi instabilitas pasar yang ada dalam jangka pendek,” ungkapnya.